REPUBLIKA.CO.ID, Pada 14 Juli 1509, Istanbul sempat diguncang gempa bumi dahsyat atau yang dikenal sebagai ‘kiamat kecil’.
Ribuan bangunan yang awalnya berdiri kokoh akhirnya luluh lantak. Mulai 1510 M, Sultan Bayezid bahu membahu membangun kembali Kota Istanbul selama 80 tahun. Hingga akhirnya, kota itu kembali tampil megah dan gagah.
Pada tahun 1727 M, pada masa Ibrahim Muteferika seorang ilmuwan terkemuka di Istanbul, dibuka percetakan. Seiring dengan lahirnya fatwa dari Syekh Al-Islam kerajaan, buku-buku selain Alquran, hadits, fikih, ilmu kalam dan tafsir juga mulai diperbolehkan untuk dicetak.
Sejak itulah, buku-buku tentang kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah, dan lainnya dicetak. Apalagi mulai 1727 sudah mulai berdiri badan penerjemah.
Sayangnya, ketika imperium Usmani memegang kendali kekuasaan, jejak peradaban yang ditinggalkan pada abad ke-8 M sampai ke-13 M tak dilanjutkan.
Daulah Usmani lebih berkonsentrasi membangun pertahanan dan armada perang untuk memperluas wilayah kekuasaan, ketimbang membangun universitas dan pusat-pusat riset ilmu pengetahuan.
Seiring kemunduran yang dialami Kerajaan Usmani, Turki akhirnya berubah haluan menjadi negara sekuler pada 1923. Di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk, sekularisme menjadi ideologi negara.
Semua simbol Islam dilarang, penggunaan bahasa dan aksara Arab diganti huruf Latin. Dakwah diawasi. Bahkan pada 1925, Attaturk melarang tarekat dan pergi haji. Pendidikan agama amat dibatasi. Pengadilan agama ditutup, hukum pernikahan Islam diganti dengan hukum positif Swedia.
Kini angin segar kembali berhembus di Istanbul. Muslimah kini diperbolehkan lagi mengenakan jilbab.