REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Untuk menjaga toleransi antarumat beragama, Kemenlu RI seringkali melakukan dialog internasional dari berbagai negara. Dialog antar umat beragama dinilai penting untuk menjaga sikap toleransi tersebut.
"Dialog penting, namun tidak serta merta menurunkan sikap intoleransi. Semua butuh proses," kata Juru Bicara Menlu RI, Michael Tene saat dihubungi Republika, Rabu (6/6).
Toleransi antarumat beragama, katanya, tidak dapat diukur dengan hasil secara kuantitatif. "Kembali lagi, semua butuh proses," katanya.
Dengan dialog, pemuka agama dari berbagai negara, katanya, dapat melihat gambaran mengenai Indonesia. Sementara pemuka agama dari Indonesia diwakili MUI, NU, perwakilan gereja dan tokoh agama lainnya.
Menyoal tingginya intoleransi yang ramai dibincangkan akhir-akhir ini, Tene menilai itu hanya gambaran lembaga nonpemerintah saja. Menurutnya, sidang Universal Periodic Review (UPR) di Jenewa hanya sedikit sekali yang menyinggung mengenai toleransi umat beragama. "Itu tidak sampai 10 persennya, karena itu faktanya," kata Tene.
Namun demikian, hal ini bukan berarti Indonesia mengesampingkan kasus-kasus intoleransi umat beragama. "Ini sekali lagi tidak mengecilkan kasus-kasus seperti itu," katanya mengacu pada kasus intoleransi umat beragama.
Selain dialog antarumat beragama, Indonesia direkomendasikan untuk meningkatkan toleransi dengan pelatihan-pelatihan HAM kepada aparat keamanan, seperti kepolisian dan TNI.
Sebelumnya, Indonesia mendapat catatan kritis dalam sidang Universal Periodic Review (UPR, Tinjauan Periodik Universal) Dewan HAM PBB, yang berlangsung pada 23-25 Mei, di Geneva, Swiss.
Sidang empat tahunan tersebut, membahas hak asasi manusia (HAM), sepert praktik kebebasan beragama, perlindungan terhadap hak kelompok minoritas, hak menyatakan pendapat, berkumpul dan seterusnya. Juga dibahas, apakah Indonesia telah menjalankan rekomendasi sidang UPR empat tahun sebelumnya.