REPUBLIKA.CO.ID, Ia keluar dengan dada membusung, tak gentar sedikitpun. Kecil postur tubuhnya tak mampu menyembunyikan kegagahan pria di balik jubah putih itu. Tujuh orang opsir kumpeni menggiringnya, disaksikan 38 orang laki-laki pribumi. Di luar, sebuah kereta kuda telah menanti.
Pangeran Diponegoro, demikian pria berjubah itu dikenal, ditangkap dalam sebuah perundingan yang khianat di rumah Residen Kedu di Magelang, 1830. Ketegangan yang terjadi hampir dua abad lalu itu tergambar jelas dalam lukisan Penangkapan Diponegoro karya sang Maestro, Raden Saleh Sjarif Bustaman.
Mahakarya yang selesai dibuat pada 1857 itu kini tergantung di salah satu sisi dinding Galeri Nasional, tempat pameran bertajuk “Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia” digelar (3-17/6). Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 111 x 178 cm itu seolah menghadirkan kembali adegan pengkhianatan terhadap sang pangeran.
Lukisan itu sarat dengan isyarat. Dan sastrawan Taufiq Ismail menangkap isyarat tersebut. Lewat puisi berjudul “Pangeran Diponegoro, Magelang, 28 Maret 1830,” ia mengekspresikan perasaan terdalamnya pada dua sosok di balik mahakarya abad 19 tersebut.
Menatap lukisan Penangkapan Diponegoro, aku berdiri dan termangu
Di depan kanvasmu, lewat jendela bingkaimu kau undang aku
Meluncur masuk lorong sejarah. Kau beri kami langit Magelang
Tiada awan menggulung atau terbentang
Cuma ada dua puncak gunung dan bukit kabut tipis tergenang
Kau beri kami adegan abad sembilan belas, yang begitu tegang
Seorang Pangeran, panglima pertempuran telah ditangkap
Dia mengenakan serban hijau, jubah putih tanpa alas kaki
Badannya kecil, tapi wajahnya menantang dengan sikap berani
Aku tidak membaca rasa sesal atau menyalahkan nasib
Pada perincian wajahnya yang diguratkan dengan cat minyak
Seratus tiga puluh delapan tahun yang lalu
Raden Saleh Sjarif Bustaman, betapa padat isyarat lukisan tuan
...
“Saya terpukau. Ada keberanian yang sangat patut dihormati,” ujar Taufiq saat ditemui di kediamannya di kawasan Utan Kayu, Matraman (Jakarta Timur). Ceritanya mengalir, dengan raut kekaguman yang tidak dibuat-buat. “Saya sangat hormat pada sosok Pangeran Diponegoro, juga pada Raden Saleh,” lanjutnya.
Kekaguman itu membuatnya tak mampu meninggalkan ruang pameran yang dikunjunginya, 1995 silam. Lama ia memandangi lukisan itu, mencoba menggali makna dari setiap goresan sang Maestro. Taufiq merekam dan mencatat setiap detilnya, lalu menulisnya. “Setelah Raden Saleh menceritakan peristiwa itu secara visual, saya ingin melukiskannya secara verbal,” ujar pria 77 tahun itu.
Penangkapan Diponegoro, menurut Taufiq, lebih dari sekadar lukisan. “Ada banyak pesan dan isyarat simbolik di sana.” Keberanian Pangeran Diponegoro misalnya, tergambarkan melalui gestur dan ekspresi yang menantang. Ekspresi rakyat pribumi yang menyaksikan penangkapan itu, beberapa wanita yang menangisinya, kuda hitam, dan cemeti yang patah di salah satu sisinya tak luput dari pengamatan Taufiq.
Pun opsir Belanda, Raden Saleh menggambarkannya dengan anatomi yang tidak proporsional. Penggambaran fisik tersebut, menurut Taufiq, merupakan representasi dari diri para opsir itu. “Jiwa mereka (para opsir Belanda dalam lukisan) seperti bentuk tubuh mereka; tidak proporsional. Dan itu bukan ketidaksengajaan atau kesalahan yang dilakukan Raden Saleh,” ujar Taufiq.
Taufiq terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Lukisan Penangkapan Diponegoro adalah karya yang hebat. Ia dibuat oleh seorang pelukis Muslim yang hebat, dan menampilkan keberanian seorang pejuang Muslim yang taat,” ujarnya, kembali dengan binar kekaguman.
Kekaguman Taufiq beralasan. Di mata penyair itu, Diponegoro adalah Muslim yang saleh, pemimpin yang bersahaja, dan pemuka agama yang taat. Ia berperang melawan Belanda selama lima tahun dan tak pernah menyerah, hingga wafat setelah 15 tahun berada dalam pengasingan.
Hal itu agaknya sepadan dengan imbalan yang didapat Taufiq. “Saya puas,” katanya. Ia mengatakan, puisi merupakan media penyampai gagasannya tentang keikhlasan, keberanian, dan ketabahan sosok pahlawan yang dikaguminya itu. “Menulis puisi tentang Diponegoro adalah kewajiban saya.”
Tentang Raden Saleh, selain sebagai Muslim yang taat, Taufiq juga melihatnya sebagai seniman yang total. Taufiq bercerita singkat tentang masa hidup sang maestro, pendalaman kemampuan seninya di Jerman, juga karya-karyanya yang hebat. “Raden Saleh sangat teliti mengerjakan setiap detil rumit karyanya. Dan yang lebih mengagumkan, ia pernah membangun masjid di Jerman,” serunya, masih dengan binar kekaguman.
Kekaguman itu, tambah Taufiq, semakin membuncah ketika dirinya melihat lukisan tentang Penangkapan Diponegoro itu. “Sejak pertama melihat lukisan itu, saya sudah berjanji pada diri saya sendiri; saya akan menulis puisi tentangnya,” ujar Taufiq bersemangat. “Lukisan Raden Saleh adalah pusaka bagi kita semua.”
Nostalgia sejarah seolah menyuntikkan gelora tersendiri bagi Taufiq. Usai mengupas 53 baris puisinya tentang Diponegoro, Taufiq mengambil sebuah buku kumpulan puisinya, membuka-buka halamannya, lalu bercerita tentang beberapa sosok pahlawan lain yang dikaguminya.
“Saya pernah menulis puisi tentang Syeikh Yusuf, Syeikh Pantai Kulu, Imam Bondjol, Fatahillah, dan Laksamana Cheng Ho,” ujar pria kelahiran Bukittinggi itu, seraya menyodorkan buku kumpulan puisi berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. “Bacalah.”