REPUBLIKA.CO.ID, Evans tumbuh dengan didikan yang ketat, meski tanpa kedua orang tuanya. Tinggal dekat dengan gereja dan belajar di sekolah Kristen adalah dua hal yang membentuknya menjadi pendeta muda. Namun ia tak pernah menyangka, Injil justru membimbingnya pada perhentian yang lain, yakni Islam.
***
“Aku dibesarkan oleh kakek dan nenekku, di South Carolina (AS),” Evans mengawali ceritanya. Malam itu, 6 Februari 2009, ia diundang untuk berbicara di Masjid Omar Al Farouk, California. Ibunya meninggalkan rumah sejak Evans masih kecil, sedangkan ayahnya tinggal jauh darinya untuk bekerja. “Di rumah hanya ada aku dan dua orang penganut Kristen yang sangat konservatif (kakek dan nenek).”
Konservatisme, menurut Evans, tak menyulitkan kedua orang terdekatnya itu untuk membentuk dirinya. Sejak kecil, Evans telah terbiasa datang ke gereja pada Minggu pagi dan malam, ditambah Rabu. “Dan dalam Kristen, orang-orang seperti kami termasuk golongan sangat relijius,” katanya.
“Dari gereja, rumah kami hanya dibatasi oleh dua rumah lain,” Evans melanjutkan. Karenanya, ia tak pernah absen dari sekolah Minggu dan kegiatan Sabtu malam yang diadakan gereja.
Meski mengaku tak menyukai gereja—di mana ia harus diam, mendengarkan ceramah pastur, berdiri, lalu kembali duduk dan mendengarkan, Evans kecil menyukai sekolah Minggu. Ia senang mendengarkan cerita-cerita tentang nabi seperti Musa, Nuh, dan Ibrahim. “Cerita-cerita itu yang kupahami sebagai Kristen.”
Pada usia 12 hingga 14 tahun, Evans mengikuti layanan gereja setiap Sabtu malam, di mana ia bisa bermain basket, sepak bola, makan pizza dan kue bersama teman-teman sebayanya. Lalu, kegiatan itu diakhiri dengan ceramah 30 menit oleh seorang pendeta muda. “Usianya hanya tiga tahun lebih tua dariku. Ia berbicara tentang agama, Tuhan, dan banyak hal lain.”
Dari kegiatan-kegiatan gereja yang ia ikuti, Evans mulai menemukan keimanan terhadap agama tersebut. “Untuk pertama kalinya, aku beragama atas dasar keinginanku sendiri,” ujarnya. (bersambung)