Selasa 26 Jun 2012 11:04 WIB

Inilah Pandangan Islam Soal KB, Bolehkah? (1)

Rep: Ferry Kisihandi/ Red: Endah Hapsari
Seorang ibu memperlihatkan kartu peserta Keluarga Berencana (KB).
Foto: Antara/Sahrul Manda Tikupadang
Seorang ibu memperlihatkan kartu peserta Keluarga Berencana (KB).

REPUBLIKA.CO.ID, Lonjakan pertumbuhan demografi di Indonesia pada sensus penduduk tahun 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi di luar prediksi. Dari sensus tersebut, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.556.363 jiwa. Prediksi sebelumnya, jumlahnya diperkirakan hanya 233-234 juta jiwa saja.

Dengan jumlah yang di luar prediksi itu, membuat banyak kalangan berpikir kembali mengenai program keluarga berencana (KB) yang dinyatakan berhasil pada 1980-an. Ini juga mengingatkan kembali mengenai perbedaan pendapat yang mengemuka mengenai keluarga berencana.

Yusuf Al-Qaradhawi melalui bukunya Halal dan Haram mengungkapkan, tujuan perkawinan salah satunya adalah lahirnya keturunan. Dengan adanya keturunan, menopang kelangsung jenis manusia. Islam menyukai banyaknya keturunan di kalangan umatnya.

Namun, Islam pun mengizinkan kepada setiap Muslim untuk mengatur keturunan apabila didorong oleh alasan kuat. Hal yang masyhur digunakan pada zaman Rasulullah untuk mengatur kelahiran adalah dengan azl, yaitu mengeluarkan sperma di luar rahim ketika akan terasa keluar.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan, para sahabat menyatakan bahwa mereka biasa melakukan azl pada masa Nabi Muhammad SAW. Ketika informasi itu sampai kepada Rasulullah, beliau tidak melarangnya. Di sisi lain ada bantahan terhadap cerita-cerita tentang orang Yahudi bahwa azl merupakan pembunuhan kecil.

Rasulullah menegaskan dusta orang-orang Yahudi itu. Kalau Allah SWT berkehendak untuk menjadikannya hamil dari hubungan itu, maka tak akan ada yang dapat mengelaknya. Maksudnya, dalam hubungan intim dengan cara azl terkadang ada setetes sperma yang menyebabkan kehamilan.

Menurut Al-Qaradhawi, ada alasan-alasan yang menjadi pijakan untuk berkeluarga berencana. Di antaranya, adanya kekhawatiran kehidupan atau kesehatan ibu bila hamil atau melahirkan. Ini setelah penelitian dan pemeriksaan dokter yang dapat dipercaya. Ia mengutip Al-Baqarah ayat 195, agar seseorang tak menjatuhkan diri dalam kebinasaan.

Alasan lainnya adalah kekhawatiran munculnya bahaya terhadap urusan dunia yang tak jarang mempersulit ibadah. Pada akhirnya, hal itu membuat seseorang mau saja menerima barang haram atau menjalankan pekerjaan terlarang demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement