REPUBLIKA.CO.ID, Kekuatan penuh kebangkitan Timur mulai tampak setelah Baitul Hikmah yang didirikan Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai lembaga penerjemah berkembang menjadi perguruan tinggi, perpustakaan dan lembaga penelitian pada era Khalifah Al-Ma'mun.
Baitul Hikmah memiliki koleksi ribuan judul ilmu pengetahuan. Perpustakaan besar itu didesain khusus. Di dalamnya terdapat sebuah ruang baca yang sangat nyaman.
Tak hanya itu, Baitul Hikmah juga menjadi tempat-tempat tinggal bagi para penerjemah. Secara rutin, para ilmuwan menggelar diskusi-diskusi ilmiah. Baitul Hikmah juga digunakan sebagai tempat pengamatan bintang.
Kehadiran Baitul Hikmah mendorong Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, ilmu kesusasteraan dan syariat Islam di seluruh kerajaan Islam—termasuk dunia. Al-Ma'mun memercayakan tugas penerjemahan di Baitul Hikmah kepada Yahya bin Abi Mansur serta Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq dan Sabian Sabit bin Qurra.
Ketika Al-Ma'mun mendirikan Baitul Hikmah, ia sempat mengirimkan utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani kuno untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada tahap awal, para ilmuwan di Baitul Hikmah menerjemahkan karya-karya bidang kedokteran dan filsafat.
Setelah itu, karya-karya dalam bidang matematika, astrologi, dan ilmu bumi mendapat perhatian. Prestasi yang menonjol yang dihasilkan para sarjana di lembaga itu adalah penemuan susunan peta bumi.
Pada masa itu juga diketahui cara menentukan arah kiblat bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat. Ghirah ilmu pengetahuan dan agama di era keemasan Dinasti Abbasiyah itu telah melahirkan sederet sarjana dan ilmuwan besar yang berpengaruh, seperti Al-Kindi.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Baghdad turut mewarnai dan berpengaruh terhadap kota-kota lain seperti Kairo, Basra, Kufah, Damaskus, Samarkand, Bukhara, dan Khurasan. Para pelajar yang datang dari berbagai wilayah ke Baghdad, kemudian mengembangkan pengetahuan di tanah kelahiran mereka masing-masing.