REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hendra Mulya
Ada hal yang cukup menarik dari perilaku manusia di sekitar kita terhadap ujian yang Tuhan berikan. Di satu sisi, sebagian manusia memuji Tuhannya tatkala dia diberi kemuliaan hidup dan kenikmatan dunia yang serbacukup.
Keberadaannya dalam pekerjaan sudah cukup mapan dan segala kebutuhan hidup serta keluarga dapat dipenuhinya. Maka itu terucaplah dari bibir manusia macam ini bahwa "Tuhan telah memuliakanku".
Namun, tatkala Tuhan mengujinya dengan "membatasi" (faqadarahu) rezeki-nya yang cukup hanya untuk dimakan hari itu, sementara penghasilannya pun hanya pas-pasan untuk hidup, bahkan mungkin lebih banyak kurangnya maka dia mengeluh kepada Tuhannya. Seraya berkata, "Tuhan telah menghinakanku". (QS [89]: 15-16).
Begitulah keadaan rohani manusia yang "labil" alias gonjang-ganjing karena tidak mampu menangkap hakikat nikmat dan ujian dari Allah SWT. Di saat usahanya maju dan rezekinya berlimpah, dia ingat Tuhan, akan tetapi di saat rezekinya dibatasi, Tuhan pun disalahkan.
Sesungguhnya Tuhan telah mendidik hamba-Nya untuk senantiasa memiliki stabilitas rohani yang mantap, sehingga rohaninya tidak pernah tersengat oleh gonjang-ganjing keberadaan harta dunia. Dan, inilah sebenarnya benang merah atau hakikat "pesan" para Rasul Tuhan kepada masyarakat pada zamannya masing-masing, mulai Nabi Adam AS hingga Muhammad SAW.
Di antara mereka, kita mencatat contoh nyata dari teladan yang ditunjukkan nabi-nabi dan rasul Allah. Bagaimana Nabi Ayub AS yang diuji dengan kekurangan harta, serta Nabi Sulaiman AS yang diuji dengan harta dan kemegahan yang luar biasa. Walhasil mereka tetap memiliki stabilitas iman yang prima. Bahkan, Sulaiman AS dengan kekayaannya malah berucap, "Hadza min fadhli Rabbi." (Semua ini--kekuasaan dan harta yang dimilikinya--dari Tuhan-ku).
Maka itu, menjadi jelaslah bagi kita bahwa Tuhan tidak lagi melihat harta dan jabatan yang sedang kita miliki. Tapi, yang utama adalah apakah kita dapat tetap bersyukur atas harta dan jabatan yang kita miliki.
Lebih jauh Tuhan lebih concern apakah harta dan kekuasaan yang kita genggam itu dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin di jalan-Nya (fi sabilillah). Dan, yang diperlukan saat ini adalah orang-orang yang memiliki mentalitas iman yang prima di saat tekanan ekonomi kehidupan yang begitu mengimpit.
Bila kita becermin pada ayat di atas, sejatinya kita tidak lagi "silau" dengan jabatan atau harta yang dimiliki seseorang. Kita juga tidak picik dalam menilai kekurangan orang lain.
Pandanglah segala sesuatu dengan mata batin bahwa semuanya adalah ujian Allah SWT. Apakah dengan kelebihan itu dia pandai bersyukur, dan dengan kekurangan apakah dia bisa bersabar. Dengan begitu, stabilitas rohani kita akan mampu menghadapi segala ujian yang diberikan.
Wallahu a'lam.