REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Presiden Afghanistan Hamid Karzai pada Rabu (18/7) mengaku pemerintahan dukungan Barat-nya tidak dapat memberikan keadilan kepada rakyat. Hal itu diakuinya terjadi, meskipun banyak negara dalam sepuluh tahun ini berupaya membangun kembali negara terkoyak perang itu.
Dengan dipimpin Amerika Serikat, masyarakat antarbangsa memompa miliaran dolar (triliunan rupiah) ke Afghanistan sejak pemerintah Taliban digulingkan dalam serbuan pada 2001. Bahkan, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menugaskan 130.000 tentara untuk membela pemerintah Karzai.
"Tidak diragukan sudah banyak kemajuan dalam pemerintahan, dalam melayani masyarakat. Pemerintah, parlemen dan pengadilan memiliki kemampuan lebih baik daripada 10 tahun lalu. Tapi, apakah kita di tempat yang rakyat inginkan, apakah kita di tempat untuk menyembuhkan rasa sakit dan penderitaan rakyat Afganistan dengan sesuai dengan cara keinginan rakyat? Tidak," katanya, seperti dilansir AFP.
"Alasan bahwa rakyat Afghanistan di desa dan seluruh pedesaan, bahkan di kota, masih mencari keadilan melalui cara lama adalah karena pemerintah tidak memiliki kemampuan memberi keadilan dan tidak dapat menanganinya tepat waktu," katanya.
Karena korupsi di pengadilan, banyak warga Afghanistan lebih memilih peradilan tradisional, seringkali dewan masyarakat setempat, untuk menyelesaikan sengketa mereka. Di bagian negara tempat gerilyawan Taliban paling giat, penduduk desa beralih ke tafsir keras Taliban dalam syariah Islam.
Pengakuan Karzai itu muncul saat Human Rights Watch, yang bermarkas di Amerika Serikat, mengutuk peradilan Afghanistan. Mereka menyatakan kajian PBB yang menunjukkan, jaksa dan hakim termasuk pejabat paling korup di Afghanistan.