REPUBLIKA.CO.ID, Menjadi Muslim di negara yang berideologi komunis bukan hal mudah. Tetap berada di jalan Allah di tengah kepungan ternak babi dan budaya yang tak sesuai syariat adalah sebuah siksaan berat.
Setidaknya demikian yang dirasakan Pedro Lazo Torres dan ratusan Muslim lainnya di Havana, Kuba. Kota terbesar dan pelabuhan utama di Kepulauan Hindia Barat yang berdiri sejak 1515 yang dihuni sekitar tiga juta penduduk.
Islam mulai masuk Kuba sejak pemerintahnya membuka hubungan dengan sejumlah agama Barat. Bahkan hubungan Kuba dengan negara Islam dinilai cukup dekat.
Fidel Castro yang memimpin Kuba sejak 1976 hingga 2008 dikisahkan sangat mendukung pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat.
Dia juga diketahui pernah melakukan kontak beberapa kali dengan mantan Presiden Irak, Saddam Husein. Fidel pun menjalin hubungan politik dan perdagangan yang intim dengan Irak.
Bahkan pada 1970, pemerintah Kuba membuka kesempatan kepada negara Arab untuk membuka kedutaannya di Havana. Selanjutnya, banyak terbentuk komunitas Arab, yang akhirnya berperan dalam penyebaran Islam di Kuba, khususnya Havana.
Kuba selama berpuluh-puluh tahun dikenal sebagai negara tanpa ideologi yang sejalan dengan ajaran agama manapun. Meskipun secara tradisional, penduduk Kuba menganut Katolik tapi banyak yang tidak aktif mempraktikkan agamanya. Ada pula yang menganut keyakinan Afro-Karibia seperti Santeria.
Praktik keagamaan baru mulai terasa sekali keberadaannya awal 1990. Ketika terjadi krisis ekonomi dan setelah pemerintah Kuba tidak lagi menggunakan embel-embel ateisme dalam mendefinisikan negaranya.
Sejak saat itu, banyak komunitas agama dari negara lain yang datang secara regular. Mereka membawa misi-misi keagamaan melalui bantuan kemanusiaan yang mereka berikan. Aktivitas ini dianggap cukup efektif., mengingat sebanyak banyak penduduk Kuba yang menjadi pengikut agama tertentu. Oleh karena itu, rakyat Kuba kini sangat toleran terhadap berbagai agama.
Meskipun demikian, Muslim di Havana hingga kini masih mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Muslim masih diliputi prasangka seperti yang terjadi di negara-negara lain. "Kadang bahkan sesama teman pun menyebut 'teroris' dengan bercanda," ujar Pedro yang dikenal sebagai Imam Yahya oleh Muslim Havana.