REPUBLIKA.CO.ID, Selanjutnya Khadijah memberikan budaknya, Zaid, sebagai pelayan untuk Rasulullah. Beliau menerimanya dengan segala senang hati, lalu segera memerdekakannya.
Dari pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anak sendiri.
Pada salah satu musim haji, sekelompok orang-orang dari desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Makkah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya.
Zaid balik menyampaikan pesan salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Kepada rombongan itu ia berkata, “Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku, bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”
Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Makkah, bersama seorang saudaranya. Di Makkah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad Al-Amin (tepercaya).
Setelah berhadapan muka dengan Muhammad, Haritsah berkata, “Wahai ibnu Abdil Muthalib, wahai putra dari pemimpin kaumnya, anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas dan memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkannya kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”
Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tapi beliau juga merasakan hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka beliau mempersilakan Zaid untuk memilih, tinggal dengannya atau ikut ayahnya.
Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab, “Tak ada orang lain yang saya pilih kecuali anda. Andalah ayah, dan andalah pamanku!”
Mendengar itu, kedua mata Rasul basah dengan air mata, karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu berseru, “Saksikan oleh kalian semua! Mulai saat ini, Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.”