REPUBLIKA.CO.ID,MANCHESTER — Siapa pemain yang pantas disebut sebagai penghancur mimpi Manchester United (MU) menjuarai Liga Primer Inggris musim lalu? Jawabannya adalah Edin Dzeko!
Tandukan Dzeko pada menit ke-90 dan disusul gol Sergio Aguero ke gawang Queens Park Rangers (QPR) dua menit berselang membuat skor menjadi 2-3 untuk Manchester City. Alhasil the Citizen sukses mengakhiri dahaga trofi selama 44 tahun setelah unggul agregat gol atas MU di akhir musim.
Tidak banyak yang tahu jika pemain yang dibeli City dari VfL Wolfsburg senilai 27 juta poundsterling atau Rp 401 miliar itu adalah pesepak bola Muslim. Ia sering tertangkap kamera berdoa dan mengusapkan kedua tangan ke muka menjelang laga berlangsung.
Penghuni lini depan timnas Bosnia itu dikabarkan juga berpuasa saat bulan Ramadhan tiba. Karena itu ia tampak bergembira tahun ini masih bisa dipertemukan dengan bulan suci penuh ampunan bagi kaum Muslim tersebut.
“Ramadhan Mubarak to all Muslim in the world.. May God bless you all!! (Bulan Ramadhan penuh berkah bagi semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Semoga Tuhan SWT memberkati kita semua),” ujar Dzeko lewat akun twitter-nya, @EdDzeko.
Menengok ke belakang, mungkin tidak ada yang menyangka pemain berjuluk Berlian dari Bosnia tersebut mampu berprestasi di lapangan hijau. Lahir pada 17 Maret 1986, di Sarajevo, Yugoslavia, orangtua Dzeko merupakan Muslim keturunan Bosnia. Karena itu sejak kecil dia dididik orangtuanya dengan budaya dan tradisi Islam.
Ketika usianya menginjak enam tahun, Dzeko mengalami masa tersulit dalam hidupnya. Saat itu, perang berkecamuk di negaranya dan warga Muslim Bosnia dikejar untuk dibantai oleh pasukan Serbia. Desingan peluru berhamburan dan ledakan bom menghiasi menjadi menu sehari-hari yang didengarnya.
“Saya sangat takut setiap hari. Kami selalu harus bersembunyi ketika tembakan terdengar atau bom jatuh. Anda bisa tertembak setiap saat,” kenang dia sebagaimana dikutip Dailymail. “Saya sering menangis pada masa itu. Terima kasih Tuhan, perang sudah menjadi masa lalu.”
Akibat perang itu keluarga Dzeko harus mengungsi lantaran tempat tinggalnya hancur diserang pasukan Serbia. Dia sempat tinggal di pengungsian dan dibesarkan dalam suasana prihatin akibat berkumpul di tempat saudaranya yang tidak layak.
Dengan luas 35 meter persegi, ia harus tinggal bersama belasan saudaranya. “Itu adalah waktu yang sulit untuk semua orang di negara itu. Tidak banyak persediaan makanan, tidak benar-benar cukup untuk tiga kali makan sehari,” kisah dia.