REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
Lusa, atau sambil menunggu keputusan dari Pemerintah tentang penetapan Idul Fitri 1 syawal 1433 H, seluruh umat Islam di dunia dan Indonesia akan merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Perayaan hari ‘kemenangan’ ini merupakan sangat penting khusus bagi orang beriman, setelah menjalankan ibadah satu bulan lamanya pada bulan suci Ramadhan.
Kenapa saya menulis khusus orang beriman, karena subtansi dari perayaan hari kemenangan Idul Fitri sebenarnya ditujukkan untuk orang-orang yang beriman. Hal ini merujuk pada kewajiban berpuasa hanya untuk orang-orang beriman (QS Al-Baqarah: 183). Secara subtansi, ‘Īdu l-Fitr, yang berarti kembali ke fitri (suci).
Untuk menjadi suci, seluruh egosentrisme dan kesombongan manusia diredam demi menjaga hubungan baik dengan seluruh umat manusia, lingkungan, alam, dan segala sesuatu di luar diri dan pribadinya. Hal ini tersirat dalam al-Quran, “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus terhadap agama menurut fitrah Allah yang telah menciptakan fitrah itu pada manusia.
Tidak mengherankan kemudian apabila kesucian 1 Syawal dijadikan momentum bagi seluruh umat muslim di berbagai penjuru dunia dengan saling memberi kesempatan untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan, dan kesempatan memperoleh kemenangan baik secara individual maupun kelompok.
Sementara kata fithrah sendiri bermakna 'yang mula-mula diciptakan Allah SWT'.
Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai 'kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci' sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.
Hari Raya Idul Fitri sebagai epos penyempurna pascapuasa Ramadan menjadi sangat berarti ketika kemerdekaan kembali direngkuh. Manusia sebagai insan yang tidak pernah lepas dari salah dan lupa akan menemukan fitrahnya kembali apabila hari kemenangan ini dapat kita maknai dengan sungguh-sungguh. Bukan sekadar ritual yang habis manis sepah dibuang. Atau bergembira ria di hari Lebaran, selepas salat Ied berlalu segala sifat, mentalitas, dan perbuatan buruk mencuat kembali dan menorehkan tinta hitam di kertas putih dan suci.
"...dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS al-Baqarah:185)
Fitrah (kesucian) dapat menjadi dasar hidup kita berpijak. Maka kemudian lantunan takbir mengagungkan keesaan Allah SWT, tahmid atau bersyukur atas segala karunia yang diberikan Allah SWT, dan tasbih yaitu menganggungkan kemahasucian Allah SWT), merupakan tombak spiritual kita dalam rangka memerangi segala macam problem kehidupan; baik berupa ketertindasan struktural, kebodohan sosial, kemunafikan, kedengkian, kebohongan, keculasan, dan segala yang merugikan bagi diri sendiri ataupun bagi lingkungan sosial kita. Selamat Idul Fitri.