Ahad 19 Aug 2012 06:00 WIB

Kembali ke Fitrah

 Suasana kesibukan umat Islam pada bulan suci Ramadhan di Masjid As Salafiyah atau biasa disebut juga dengan Masjid Pangeran Jayakarta, Jalan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, Senin (30/7). (Aditya Pradana Putra/Republika)
Suasana kesibukan umat Islam pada bulan suci Ramadhan di Masjid As Salafiyah atau biasa disebut juga dengan Masjid Pangeran Jayakarta, Jalan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, Senin (30/7). (Aditya Pradana Putra/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID,Seorang sufi terkemuka abad kedua Hijriah, Abu Bakar as Syibli, semasa hidupnya pernah menulis sebuah syair, ketika ia berada di pengujung Ramadhan. Tepatnya, kala fajar 1 Syawal tiba. “Jika Engkau bagiku ialah Id maka tak sebanding Id saat ini. Rasa cinta kepadaMu di hatiku, terus mengalir. Laksana air di kecapi.” Sebulan penuh kita melewati Ramadhan. Bulan ini diposisikan sebagai Kawah Candradimuka, tempat penempaan spiritual umat Muslim. Bentuk penggemblengan itu beragam, baik bentuk ataupun dimensi ibadahnya. Ada yang bersifat sangat individual, hanya menyentuh wilayah privat. Sebagiannya lagi, masuk pada ranah ibadah sosial.

Kini, Idul Fitri hadir, kembali menyapa kita. Benarkah kedatangannya berarti puncak kemenangan? Justru tidak. Di sinilah, keberhasilan dari rangkaian ritual sepanjang Ramadhan akan dibuktikan. Idul Fitri bukan akhir segalanya. Ia sekadar tempat rehat, momentum mengembalikan kesucian diri. Menyegarkan kembali sema ngat dan ghirah untuk berbuat lebih baik lagi. Dan, menanggalkan segala bentuk tindakan keji, zalim, dan perbuatan nista. Kembali fitrah, baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun hidup berbangsa dan bernegara.

Idul Fitri bagi individu adalah evaluasi dan introspeksi menuju pribadi yang bertakwa. Minimal, implikasinya bisa diukur dengan adanya perubahan nyata dalam kesehariannya. Ia mestinya menjadi figur yang tidak mencederai orang lain, baik secara lisan, perbuatan, ataupun sikap sikapnya dalam berinteraksi. Sebab, disesuaikan dengan posisi dan tanggung jawab yang diemban.

Pemimpin yang lulus Ramadhan, misalnya, tak akan gampang mengumbar janji, mengeluarkan pernyataan, dan tak mempermainkan amanah rakyat. Pemimpin yang sukses menangkap pesan Idul Fitri akan berani bertindak tegas dan bersikap antikezaliman dan penyelewengan, apa pun bentuk dan motifnya. Karena ia kembali ke fitrah sebagai pengemban amanah.

Sebagai makhluk sosial, Idul Fitri mengingatkan kita terhadap keberadaan entitas lain. Mengetuk kepedulian sosial, mengunggah empati, dan mengajak kita untuk segera berbuat sesuatu. Di luar sana, masih banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedikit perhatian kita akan meringankan beban derita yang mereka rasakan.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Idul Fitri adalah saat yang tepat untuk meneguhkan kembali komitmen nasionalisme dan menguatkan konsistensi terhadap penegakan hukum. Karena, idealnya, spiritualitas yang terbarukan akan mendorong rasa malu. Malu tidak mandiri dan berdikari, malu mengekor ke pihak asing, malu main mata antarpenegak hukum, dan malu mengambil hak oran lain. Jika menurut as Syibli, kecintaan terhadapNya adalah hakikat Idul Fitri telah menguasai dirinya. Maka, siapa pun yang mengaku cinta pada seseorang, ia akan menuruti apa pun yang dititahkan dan menjauhi segala yang dilarang.

Bukan Idul Fitri namanya bila lepas Ramadhan, nafsu dan syahwat kekuasaan, angkara murka, atau kenistaan lainnya, justru kembali. Karena, menurut Hasan al Bashri, tiap hari adalah Idul Fitri, selama kemaksiatan tidak dilakukan: seperti maksiat diri, maksiat sosial, dan maksiat dalam berbangsa dan bernegara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement