Sabtu 08 Sep 2012 21:48 WIB

KH Hisyam, Pelopor Pendidikan Modern Muhammadiyah (1)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Barangkali tak banyak orang yang mengenal sosok ulama Muhammadiyah yang satu ini.

Kendati namanya tidak setenar tokoh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, ataupun KH Mas Mansur dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, kiprah KH Hisyam dalam mengembangkan dunia pendidikan, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum, di Tanah Air patut mendapat acungan jempol.

Kiai Hisyam lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada 10 November 1883, dan wafat pada 20 Mei 1945.

Ia adalah murid langsung dari KH Ahmad Dahlan, yang juga seorang abdi dalem ulama dalam Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia memimpin Muhammadiyah selama tiga tahun berturut-turut (1934-1936).

Kepemimpinannya di Muhammadiyah dimulai pada 1934. Untuk pertama kalinya, Kiai Hisyam terpilih dan dikukuhkan sebagai ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ketiga dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta.

Setahun kemudian, dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada 1935, warga persyarikatan berlambang matahari itu kembali memilihnya sebagai orang nomor satu. Pada Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada 1936, Kiai Hisyam kembali mengemban amanah sebagai ketua pengurus besar Muhammadiyah.

Sebelum terpilih menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah, Kiai Hisyam sempat menjabat ketua bagian Sekolah (Ketua Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.

Kiai Hisyam dikenal sebagai sosok pemimpin yang tertib dalam hal administrasi dan manajemen organisasi. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement