REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Indonesia Halal Watch (IHW) menilai jumlah auditor halal belum sebanding dengan banyaknya jumlah prodak yang harus disertifikasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal (BPJPH). Mandatory sertifikasi halal sudah diberlakukan sejak Oktober 2019.
Sekretaris IHW Raihani Keumala mengatakan, sesuai dengan data dari Kementerian Koperasi saat ini ada sekitar 4.6 juta produk. Produk tersebut harus sudah disertifikasi dalam waktu lima tahun sesuai dengan tahapan kewajiban sertifikasi halal produk makanan dan minuman.
"Maka total ada 920 ribu produk yang harus disertifikasi halal setiap tahunnya," kata Raihani saat dihubungi Republika, Selasa (22/1).
Raihani menuturkan, apabila 920 ribu produk itu dibagi dengan 30 ribu auditor halal, maka ada 30 produk yang harus disertifikasi halal pertahunya oleh satu auditor. Maka setiap bulannya masing-masing auditor memeriksa dua produk.
Sebagai gambaran, kata Raihani bahwa saat ini satu produk diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu bulan oleh satu auditor. Maka idealnya dibutuhkan 30 ribu auditor untuk menyelesaikan 4.6 juta produk dari semua pelaku usaha yang saat ini belum dilakukan sertifikasi halal.
"Dari 4,6 juta itu diperkirakan ada 1,6 juta adalah produk UKM," katanya.
Raihani menuturkan, sesuai Pasal 14 angka 2 huruf F Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), bahwa yang harus menyiapkan atau bertanggungjawab menyediakan auditor halal adalah Kementerian Agama melalui BPJPH.
Dalam menyiapkan auditor halal kata Raihani, BPJPH harus bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sampai saat ini mandatory sudah berjalan kurang lebih tiga bulan, BPJPH belum melakukan kerjasama dengan MUI.
"Maka diperlukan kerjasama yang khusus untuk mencetak auditor halal yang bersertifikasi sesuai dengan Pasal 14 angka 2 huruf f," katanya.
Raihani menuturkan, sesuai Pasal 14 angka 2 huruf F UU JPH, ada enam kriteria seseorang dapat diangkat menjadi auditor halal. Pertama harus. warga negara Indonesia, kedua beragama Islam, ketiga berpendidikan paling rendah sarjana strata satu di bidang Pangan, Kimia, Biokimia, Teknik Industri, Biologi, atau Farmasi.
Keempat memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut Syariat Islam, kelima mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan atau golongan, keenam memperoleh sertifikat dari MUI.
"Saat ini sedang menghadapi masa kewajiban sertifikasi halal atau mandatory sertifikasi halal, maka dibutuhkan jumlah auditor halal yang sangat besar," katanya.