REPUBLIKA.CO.ID, Ketidakamanan mencengkeram Libya. Anggota milisi masih berkeliaran di negara itu setahun setelah mereka menggulingkan Muammar Qaddafi. Kondisi itu membuat penanam modal asing was-was dan menempatkan produksi minyak negeri itu pada masa depan suram.
Serangan pada September terhadap kosulat AS di Kota Benghazi, Libya timur, sehingga menewaskan duta besar AS Chris Stevens dan tiga stafnya, mempertegas betapa rapuh negara tersebut . Rakyat Libya kini sedang berjuang untuk keluar dari warisan kekuasaan Gaddafi selam 42 tahun.
Mereka bangkit menentang pemimpin mereka selama gelombang kerusuhan Arab guna menentang penguasa yang lama memerintah di negara mereka pada awal 2011. Namun mereka harus berjuang untuk menggulingkan Gaddafi, dengan bantuan aksi pemboman NATO.
Kebanyakan orang Libya tetap gembira karena Qaddafi telah pergi dan banyak dari mereka menyuarakan optimisme yang diselubungi kehati-hatian mengenai prospek negara mereka.
Tapi setahun kemudian, kerusuhan masih mengikuti negara Afrika Utara itu, saat Shehata Awami, Gubernur terpilih pertama di Benghazi, dapat memberi kesaksian.
Ia meletakkan jabatan tiba-tiba bulan lalu, terjebak di antara tekanan harian, yang seringkali ditopang dengan ancaman kelompok bersenjata, dari orang yang menuntut pekerjaan atau rumah dan pemerintah pusat yang lemah serta tak bereaksi di Tripoli.
"Pernah, beberapa anggota dewan menghubungi saya; mereka gemetar ketakutan. Seorang pria yang menuntut rumah telah memberitahu mereka,
'Jika saya tidak mendapatkan apa yang ingini, saya akan berjalan ke dalam gedung kalian dengan dua tas berisi peledak dan meledakkan kalian'," kata Shehata sebagaimana dikutip Reuters .
"Setiap dua pekan saya mengirim delegasi ke Tripoli untuk bertemu pemerintah dan meminta bantuan," katanya. "Dan setiap kali kami diberitahu, 'Nanti, besok, kami tak bisa membantu sekarang'." Shehata mundur pada Agustus untuk kembali ke pekerjaan lamanya di sektor perbankan.
Ketidak-puasan merebak di seluruh Libya, bukan hanya di Benghazi, pusat aksi perlawanan terhadap Qaddafi. Kebudayaan menggunakan senjata telah berkibar, kata warga --yang memberi contoh pembajakan mobil, penculikan, perampokan bersenjata dan sengketa yang mengakibatkan baku-tembak antar-kelompok yang bersaing.
Pertempuran paling akhir di sekitar kubu mantan pemimpin Libya, Bani Walid, memperlihatkan perpecahan yang mendalam terus berkobar. Tripoli sering menuduh pengikut setia Qaddafi berusaha merusak kestabilan jalur demokratisnya.
Pemerintah telah gagal mengendalikan anggota milisi, kebanyakan mantan gerilyawan. Yang lebih buruk, pemerintah mengandalkan mereka untuk pengamanan.