REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Belanda pun menginisiasi pembentukan peradilan agama pada 1882.
Tahun ini di anggap sebagai tahun kelahiran peradilan agama di Indonesia secara sah dan diakui oleh hukum negara. Dengan demikian, secara resmi usia peradilan agama di Indonesia baru 130 tahun.
Pada masa awal kelahirannya, wewenang pengadilan agama terutama daIam bidang perkawinan dan kewarisan. Peradilan dan lembaga peradilan pada masa itu masih sangat sederhana.
Para pegawainya diangkat oleh para pejabat setempat. Pengadilan Agama diselenggarakan oleh para pejabat (penghulu), yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sedangkan, sidang-sidangnya berlangsung di serambi masjid.
Meski dalam undang-undang tersebut tergambar jelas sikap Belanda terhadap Islam, namun isi undangundang tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Belanda. Dalam urusan haji, misalnya, pemerintah kolonial tidak dapat menahan diri dan sering mencampurinya.
Mereka membatasi dan mempersulit umat Islam yang hendak beribadah haji ke Makkah karena para haji itu dianggap fanatik dan suka memberontak. Mereka pun membatasi umat Islam untuk bekerja di bidang pemerintahan dan membangun masjid.
Pemerintah kolonial Belanda pun berusaha mengebiri hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Mereka berusaha menghapus kelembagaan peradilan agama dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Namun, kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.
Mereka pun berusaha mengurangi kewenangan pengadilan agama sedikit demi sedikit. Pemerintah Belanda menempatkan pengadilan agama di bawah pengawasan “landraad” atau pengadilan negeri.
Hanya lembaga “landraad” yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk “excecutoire verklaring” atau pelaksanaan putusan. Pengadilan agama tidak berwenang menyita barang dan uang.