REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat secara terbuka menyatakan tidak setuju dengan sikap Prancis, salah satu sekutu terdekatnya, yang akan mendukung peningkatan status Palestina di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
"Kami jelas tidak setuju dengan sekutu terlama kami itu tentang masalah ini. Mereka tahu bahwa kita tidak setuju dengan mereka," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Victoria Nuland.
"Tetapi keputusan itu adalah kedaulatan mereka untuk melakukan, bagaimana akan melanjutkan."
Dia menegaskan bahwa jika pemungutan suara dilakukan seperti yang direncanakan di dalam sidang Majelis Umum PBB pekan ini, Amerika Serikat akan memilih menolak permintaan Palestina, yang Washington anggap sebagai satu "kesalahan."
"Kami berfokus pada tujuan kebijakan di lapangan untuk rakyat Palestina, untuk orang-orang Israel, yang berakhir dengan terbentuknya dua negara yang dapat hidup berdampingan secara damai," kata Nuland kepada wartawan.
"Tidak ada dalam aksi ini di PBB akan membawa Palestina kepada setiap yang lebih dekat dengan ... Jika ada pemungutan suara, kita akan memilih 'tidak'."
Prancis adalah kekuatan utama Eropa pertama yang menyuarakan persetujuannya dengan langkah Palestina untuk meningkatkan status pengamat permanen saat ini di PBB, sementara itu Inggris telah mengatakan belum memutuskan sikapnya.
Usulan Palestina diatur untuk mencapai status itu karena memiliki dukungan mayoritas dari 193 negara anggota PBB, dengan para diplomat memprediksi bahwa antara 11 dan 15 negara Uni Eropa bisa mendukung usulan Palestina.
Di tengah kesibukan upaya diplomatik AS untuk mencoba mencegah pemungutan suara itu, Nuland juga menegaskan bahwa Menteri Luar Negeri Hillary Clinton telah berhubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengenai masalah ini.
"Ini, Anda tahu, adalah panggilan Inggris bagaimana mereka ingin bersikap tentang hal ini ke depan. Mereka tahu persis di mana kita berdiri," katanya.
AS percaya bahwa langkah Palestina "mengobarkan situasi antara para pihak, membuat lebih sulit bagi mereka untuk kembali ke meja perundingan, dan membuat situasi politik makin sulit di antara mereka," katanya.