REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING--Komunitas Muslim Cina perlu waspada dengan kebijakan ganda Beijing. Sebab, kebijakan itu bakal memicu perpecahan umat.
Antropolog asal California, Dru Gladney menilai Beijing sejak awal memperlakukan kebijakan ganda terhadap umat Islam yang berasal dari etnis Uighur dan Hui.
"Di Xianjiang, kebebasan beragama diawasi secara ketat karena situasi politik itu berbeda dengan daerah lain," kata dia, seperti dikutip Radio Free Asia, Ahad (2/12).
Gladney menambahkan kebijakan itu memicu kemarahan dan rasa frustasi dari kalangan Muslim Uighur. "Semua gerakan Uighur terhadap pemerintah Cina disebabkan rasa frustrasi yang dihasilkan dari penindasan pemerintah Cina di wilayah tersebut, bukan oleh kekuatan agama yang radikal," imbuh Gladney.
Secara fisik, Muslim Uighur sangat berbeda dengan Muslim Cina dari etnis Hui. Perbedaan mencolok lainnya adalah budaya. Muslim Uighur mewarisi budaya Turki dan Asia Tengah yang kuat. Jelas sangat kontras dengan budaya etnis Hui, yang kental dengan pengaruh Cina.
Penulis berdarah Uighur, Ghulam Osman mengatakan Uighur merupakan ras berbeda dari Cina, berbeda dengan Muslim Hui sat yang masih satu etnis dengan Cina.
"Tapi Muslim Hui tidak pernah merasakan penindasan yang sama dengan Muslim Uighur. Bisa jadi, karena mereka telah berasimilasi dengan budaya Cina," kata dia.
Para aktivis HAM menilai Beijing sengaja memberlakukan kebijakan yang menghapus identitas dan budaya Uighur dengan memasukan etnis Han ke wilayah kantung Uighur.
Pada tahun 1940, hanya ada lima persen etnis Han di Xianjiang. Kini, jumlahnya mencapai 40 persen."Fakta itu menandakan Uighur diserang Cina," kata Osman.