REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panwaslu DKI Jakarta menolak jika dikatakan tidak bisa menindak sejumlah kampanye terselubung sejumlah pasangan bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI. Alasannya, yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 14 tahun 2010 adalah kampanye pasangan calon, bukan pasangan bakal calon.
"Panwaslu terkesan sungkan, namun sebenarnya tidak, karena yang dikatakan melakukan kampanye terselubung saat ini adalah pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Sesuai peraturan, mereka baru bisa dikatakan melakukan kampanye jika sudah ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur 12 Mei nanti," ujar Ketua Panwaslu, Ramdansyah, yang dihubungi Republika, Selasa (3/4).
Sebelumnya, sejumlah pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta sudah gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat. Di antaranya yang kerap diekspose media massa adalah pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi, pasangan Jokowi-Ahok, pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono, dan pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini.
Akan tetapi Panwaslu, kata Ramdansyah, sudah bertindak tegas ketika melihat sejumlah pelanggaran berupa pemasangan spanduk di sejumlah tempat-tempat ibadah serta pemasangan spanduk yang mengandung unsur provokatif. "Kami sudah meminta Satpol PP untuk menurunkan aneka-macam spanduk yang mengandung unsur provokasi seperti itu," tuturnya.
Sementara itu, terkait adanya indikasi PNS yang tidak netral pada Pemilukada DKI tahun ini, Panwaslu sudah memberi peringatan. Salah satu contoh adalah seorang walikota yang juga menjabat sebuah ormas di Jakarta yang meminta warganya memilih salah satu kandidat. "Kami sudah memperingatkan hal tersebut. Kalau mereka hanya mengarahkan di kalangan internal, itu sah-sah saja. Namun jika sampai mem-blow up dengan mengundang media, itu tidak boleh," katanya.
Undang-Undang No 12 tahun 2008 Pasal 83 yang menyatakan birokrasi dilarang untuk menguntungkan salah satu calon. "Kalau putusan Mahkamah Konstitusi (MK) disetujui, Pasal 116 ayat 4 ancaman pidana minimal 1 bulan, maksimal 6 bulan dan atau denda Rp600 ribu maksimal Rp 6 juta," katanya.