REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012 rawan konflik. Hal ini dilihat dari seiring masih banyaknya permasalahan dalam persiapan hajatan demokrasi lokal tersebut, seperti terlambatnya distribusi kartu pemilih hingga minus dua hari pemilihan, terlambatnya distribusi kotak dan surat suara, dan lain-lain.
Menurut Anggota Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Daniel Zuchron di Jakarta, Selasa (10/7), apabila persoalan-persoalan tersebut tidak selesai juga pada pelaksanaan pemilihan maka Pilkada DKI terindikasi rawan konflik. Hal itu bisa saja dimulai dari ketidakpuasan para pemangku kepentingan dan penggiat pemilu. Seperti laporan dari tim sukses dari pasangan calon gubernur-wakil gubernur mengenai kualitas pelaksanaan Pilkada.
"Bisa diprediksi dari awal. Ketidakpuasan dari timses pasangan cagub-cawagub mengenai DPT. Dan ini bisa berlanjut pada ketidakpuasan pelaksanaan Pemilukada," katanya. Jika rasa tidak puas itu berlanjut, sambung Daniel, Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menjadi saluran aspirasi dari timses maupun penggiat pemilu mengenai kualitas Pilkada itu sendiri.
Aspirasi berbentuk laporan adanya kecurangan pada saat pelaksanaan atau adanya temuan praktik politik uang dan suap. Bila hal itu benar-benar terjadi maka kualitas Pilkada DKI benar-benar menurun. Lantaran pada Pilkada DKI Jakarta 2007 tidak ada gugatan ke MK.
Tentu saja, tambah Daniel, pihak yang paling dirugikan dalam masalah ini adalah masyarakat itu sendiri. Karena akan terjadi konflik horizontal antara masyarakat atau masyarakat dengan pihak pelaksana pilkada. Tentu saja, hal ini jangan terjadi karena DKI Jakarta adalah barometer nasional.
"DKI ini ibarat kawah candradimuka Indonesia menuju Pileg dan Pilres 2014. Bila terjadi kekacauan di Pemilukada DKI maka dikhawatirkan akan menular ke daerah lainnya," tuturnya.