REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pada hari pencoblosan Pemilukada DKI Jakarta, beberapa lembaga survei sudah dapat menentukan siapa pemenang melalui hitung cepatnya atau 'quick count'. Karena itu, masyarakat diminta untuk tidak lantas mempercayai hitung cepat pada Rabu (11/7) besok. Apalagi penghitungan tersebut dilakukan di luar Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta.
Karena, menurut pengamat politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago hasil 'quick count' bukan merupakan sesuatu yang mengikat. "Bukan hasil yang resmi, dan tidak boleh dijadikan rujukan," kata Andrinof dalam keterengan yang diterima, Selasa (10/7). Selain itu, dia juga tidak meyakini keakurasian dari hasil pemilihan umum yang ditentukan lewat hasil 'quick count'.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni pun menyatakan pendapat yang sama. Selain itu, Titi juga mengimbau agar setiap informasi terkait dengan kecurangan dan pelanggaran dalam Pemilukada perlu direspon dengan waspada dan penuh sikap responsif.
Seharusnya, lanjut dia, Panwaslu bisa melakukan antisipasi dengan mengingatkan penyelenggara agar tetap netral dan nonpartisan. "Juga harus bersikap imparsial dan membebaskan diri dari segala praktik-praktik manipulasi," kata Titi.
Hal kedua, lanjut dia, tim pasangan juga harus mengoptimalkan kerja-kerja saksi dan memantau setiap proses pemungutan dan penghitungan suara. Tidak hanya di TPS, tapi juga sampai ke tahap rekapitulasi di PPS (Kelurahan) dan PPK (Kecamatan). "Bahkan sampai ke tingkat KPU Kabupaten dan Provinsi," imbuhnya.
Selain itu, saksi dan tim sukses pasangan calon harus mengawasi pergerakan kotak suara dari mulai TPS sampai ke PPS, PPK, KPU Kab/Kota, dan KPU Provinsi. "Agar tidak dimanipulasi dan dicurangi," kata Titi lagi.