REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai perguruan tinggi Islam tertua di Tanah Air, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masuk dalam jajaran kampus terpandang di negeri ini.
Namun, fakta ini tak membuat para pengelolanya berpuas diri.
“Kita masih harus terus memperbaiki diri untuk selalu meningkatkan kualitas akademik para pengajar,” kata Pembantu Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr Moh Matsna HS, baru-baru ini.
Saat ini, ungkap Matsna, baru sepertiga dari seluruh pengajar di kampusnya yang bergelar doktor. Namun, sesuai target pimpinan universitas, pada 2015 mendatang diharapkan seluruh dosen di perguruan tinggi Islam ini sudah menyandang gelar doktor.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki 11 fakultas dengan 56 program studi (prodi). Di antara prodi itu, beberapa sudah membuka kelas internasional. “Ini salah satu upaya kita juga untuk bisa meningkatkan kualitas.”
Selain fakultas berbasis ilmu keislaman, UIN Syarif Hidayatullah juga memiliki fakultas nonkeislaman, seperti fakultas kedokteran, ekonomi, psikologi, hingga fakultas termuda, yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Hadirnya fakultas non-keislaman itu merupakan cara UIN untuk menggaet mahasiswa lebih luas. Namun Matsna menegaskan, ilmu yang diajarkan di UIN tetap memiliki nilai tambah dibandingkan dengan universitas negeri yang tidak berlabelkan Islam.
“Buat kami, pengetahuan yang kami ajarkan di sini memiliki nilai integritas antara keilmuan dan nilai keislaman,” ujarnya. “Inilah yang membuat kita bisa tampil beda dengan yang lainnya.”
Nama UIN sendiri merupakan bentuk evolusi dari IAIN Syarif Hidayatullah. Perubahan nama itu sejalan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden RI Nomor 031 Tahun 2002.
Sedangkan, pendirian UIN Syarif Hidayatullah ini merupakan mata rantai dari sejarah perkembangan perguruan tinggi Islam di Indonesia untuk menjawab kebutuhan pendidikan tinggi Islam modern yang dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka.
Adalah Dr Satiman Wirjosandjojo yang menjadi inisiator terbentuknya pendidikan tinggi Islam modern di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, ia berusaha mendirikan Pesantren Luhur sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam. Namun, usaha ini gagal karena hambatan dari pihak penjajah Belanda.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr Komaruddin Hidayat, mengatakan keberadaan UIN diharapkan bisa menjadi semacam inkubator untuk mencetak pemimpin negeri yang tetap memegang teguh nilai Islam.
Namun, bukan sembarang pemimpin, melainkan pemimpin yang tetap mampu membumi dengan bangsanya sendiri. “Kita ingin menjadikan UIN ini sebagai inkubator bagi calon-calon pemimpin umat yang meng-Indonesia, dengan modal moral, skill, dan intelektual,” tegas Komaruddin.