REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Jelang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim), organisasi masyarakat (ormas), seperti Nahdlatul Ulama (NU) melulu menjadi pusat dukungan. Namun, melalui pengurus wilayahnya di Jatim, NU menegaskan jika pihaknya bukanlah koordinator partai politik (parpol), walaupun sejumlah parpol menunggu kader NU yang disepakati para ulama dan tokoh NU.
"PPP, PKB, Gerindra dan PKS dalam beberapa statemen siap mengikuti PWNU dalam Pilgub Jatim, maksudnya kader yang didukung ulama dan tokoh NU akan mereka dukung, walau sikap terakhir PKS sudah kembali mendukung 'incumbent'," kata Humas PWNU Jatim Noorhadi di Surabaya, Kamis (3/1).
Menurut dia, statemen apapun merupakan hak partai, namun PWNU bukanlah di atas partai dan bukan pula sebagai kordinator partai, karena peran NU berbeda dengan partai politik (parpol) yakni politik NU adalah politik kebangsaan, keumatan, dan sosial-keagamaan.
"Memang NU tidak bisa dilepaskan dari politik, karena misi NU juga memperjuangkan demokratisasi. Untuk misi itu, NU memfasilitasi dan mendukung warga terbaiknya untuk masuk dalam gelombang politik praktis dengan menggunakan jalur yang memang disediakan untuk itu," bebernya.
Menurut dia, keinginan tokoh NU mengarahkan pilihan politik warga NU itu bukan politik praktis, karena caranya tidak akan menggunakan NU, namun tetap menggunakan jalur parpol yang ada. "Targetnya juga bukan kekuasaan, tapi supaya potensi politik NU tidak dimanfaatkan orang lain," katanya.
Sementara NU secara organisasi akan tetap dipertahankan secara netral, karena semangat yang diharapkan oleh para pendiri NU mengenai posisi dan kedudukan NU dalam politik nasional adalah netral.
"Jadi, NU dalam konteks Pilgub Jatim 2013 tidak akan terpengaruh secara organisatoris dengan partai politik, baik Pilgub pada 29 Agustus 2013 maupun empat Pemilihan Kepala Daerah dalam waktu bersamaan dengan Pilgub yakni Kota Probolinggo, Kota Kediri, Kota Madiun, dan Kota Mojokerto," tuturnya.
Dalam konteks politik praktis, PWNU mengimbau warganya tidak terbawa arus politik praktis yang berdampak merugikan organisasi.
Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Itu untuk warga, sedangkan NU secara kelembagaan sudah jelas menganut politik kebangsaan, keumatan, dan keagamaan, bukan politik kekuasaan (politik praktis). Hubungan NU dengan politik praktis sudah diatur di NU. NU tidak boleh digunakan mencari kekuasaan," katanya.
Oleh karena itu, warga NU tidak dilarang berpolitik, termasuk tokoh NU, tapi ada aturan, etika dan pedoman, misalnya tidak boleh membawa institusi NU saat aktivitas politik praktis yang akan 'mencoreng' citra NU sendiri.
Hingga kini, kader NU yang digadang-gadang "bermain" dalam Pilgub Jatim sebagai cagub atau cawagub antara lain Khofifah Indar Parawansa (Ketua Umum PP Muslimat NU), H Saifullah Yusuf (Gus Ipul/Cawagub Jatim sekarang), dan H Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi).
Sumber internal NU menyebut Khofifah dan Gus Ipul layak didorong menjadi Cagub Jatim, namun keduanya harus dipilih salah satu.
Masalahnya, salah satu dari keduanya diprediksi sulit menerima kenyataan bila salah di antara mereka tidak dipilih, sehingga bila NU merestui salah satu dari keduanya, maka kader yang tidak direstui akan tetap maju dengan pihak lain.
Sementara sumber lain menyebutkan, bila NU berhasil menyatukan keduanya sebagai pasangan cagub dan cawagub, maka Abdullah Azwar Anas akan menjadi 'kuda hitam' kader NU yang 'dilirik' pihak lain untuk digandeng guna 'membelah' suara NU, meski Anas diyakini akan menolak.