REPUBLIKA.CO.ID, Para ulama Islam dari abad pertengahan, pada kenyataannya, bukan hanya merupakan yang pertama menulis tentang operasi caesar.
Mereka bahkan membuat ilustrasinya dan menuangkannya dalam puisi.
Akibat minimnya sumber acuan, sejumlah sejarawan terpaksa mengutip dari sumber yang tidak ada kaitannya dengan dunia medis sama sekali.
Misalnya, cerita 1001 Malam mengenai seorang gadis budak Tawaddud. Karya sastra semacam ini tentu tidak mampu dijadikan sumber medis yang kuat. Literatur yang relevan tidak hanya langka, tapi juga tersebar, terfragmentasi, dan tidak diedit.
Kendati demikian, pada masa-masa awal periode peradaban Islam di tanah Arab, terdapat sejumlah bukti meyakinkan mengenai operasi caesar. Bukti-bukti ini mau tidak mau memaksa kita untuk sampai pada kesimpulan bahwa bangsa Arab mengetahui operasi persalinan ini dan mempraktikkannya.
Paling tidak bangsa Arab menyediakan tiga sumber utama yang bisa menceritakan mengenai operasi yang menarik ini. Pertama, mereka memiliki hubungan erat dan sangat baik dengan ilmuwan Yahudi pada periode itu.
Kebanyakan mereka menulis artikel sendiri atau menerjemahkan literatur medis Yunani dan Latin ke dalam bahasa Arab. Fakta menyebutkan, penerjemah terbaik pada masa itu adalah orang Yahudi. Mereka juga menerjemahkan referensi Talmud tentang operasi caesar.
Sumber yang kedua berasal dari sejarah Romawi. JW Ritter dalam bukunya, “Post Mortem Caesarean Section”, yang terbit pada 1961 menyebutkan, selama masa Romawi, operasi caesar dipraktikkan secara luas dan diatur dalam dekrit kerajaan Raja Pompilius (715-673 SM). Dekrit itu dikenal sebagai Hukum Raja atau Lex Regia.