REPUBLIKA.CO.ID, Untuk mengefektifkan program deradikalisasi perlu adanya keterlibatan banyak pihak.
“Tetapi, tetap dikoordiniasikan oleh pemerintah dan lembaga hukum terkait,” kata Ramacil Afsan, aktivis kampus Universitas Yarsi Jakarta.
Untuk tanggung jawab ini, Afsan memberikan perumpamaan seperti pentingnya rasa aman. Kewenangan memberi rasa aman itu ada di pihak kepolisian, tetapi untuk mewujudkannya menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat.
Ia juga menganalisis secara sederhana bahwa munculnya radikalisasi ajaran Islam cukup banyak dipengaruhi dari pendapat atau pemahaman subjektif yang ditelaah oleh guru agama.
Biasanya, kata dia, penafsiran guru-guru tersebut justru bersifat kebencian maupun memberikan label tertentu.
“Seperti contoh Amerika sama dengan Yahudi atau jangan bersentuhan dengan yang berbau Amerika. Hal semacam ini lama-kelamaan menimbulkan kebencian dan nantinya berujung pada tindakan yang radikal,” ujarnya.
Lantas, usulan seperti apa yang bisa dilakukan untuk menjalankan program deradikalisasi ini? Afsan mengatakan, langkah yang dilakukan adalah upaya pencerdasan.
Dalam hal ini, perlu adanya pemberian pemahaman kepada para guru agama. “Di sinilah perlu adanya pemberian pemahaman yang objektif, tidak hanya terpaku pada satu aliran.”
Menurut Afsan, upaya pencerdasan kepada masyarakat umum terhadap bahaya Islam radikal dilakukan secara interaktif. Bisa dilakukan dengan diskusi, memberikan bacaan, lagu, film, dan lain sebagainya. Selain itu, mahasiswa harus pula aktif berperan serta.
Sementara itu, Aziz Zaenuddin, seorang mahasiswa Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, juga melihat hal paling sederhana yang bisa dilakukan dalam program deradikalisasi adalah melakukan pendekatan kepada pihak yang dianggap teroris.
“Pendekatan ini perlu dilakukan secara terus-menerus, termasuk nantinya memberi sedikit pelurusan pemikiran,” ujarnya.