REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1984, ketika berlangsung Muktamar NU ke-27 di Situbondo, pamor Kiai Achmad kian mencorong.
Jabatan Rais Am Syuriyah PBNU pun diamanahkan ke pundaknya.
Ia berduet dengan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur untuk memimpin NU. Kala itu, Gus Dur menjabat sebagai ketua umum Tanfidziah.
Jabatan Rais Am PBNU itu dipegang Kiai Achmad hingga malaikat maut menjemputnya pada 23 Januari 1991.
Selain jabatan penting di NU, Kiai Achmad juga pernah berkiprah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN).
Dalam prosesi pemakamannya di Tambak Mojo, Kediri, ribuan orang mengantarkannya penuh kedukaan. Betapa tidak, ulama yang tenang dan penyabar dari Jember itu telah pergi untuk selamanya.
Tangan Kanan Kiai Wahid Hasyim
Ketika nyantri di Ponpes Tebuireng, Jombang, Achmad muda masuk dalam kelompok “intelektual” santri yang dipegang langsung oleh KH Wahid Hasyim (Gus Wahid).
Kedekatannya dengan Gus Wahid ternyata memberi nya banyak man faat. Selain membuka cakrawalanya tentang politik na sional, ia juga memperoleh kete rampilan mengetik dan menulis.
Kecerdasannya juga kian terasah dengan ilmu yang diberikan Gus Wahid. Semasa hidupnya, Kiai Achmad menjadi salah satu “ulama langka” di NU karena aktivitasnya yang kerap menulis di media massa.
Beberapa tulisannya cukup rutin menghiasi media, seperti Risalah NU, Warta NU, Aula, dan Jurnal Pesantren. Kemampuan Kiai Achmad itulah yang membuat Gus Wahid “memakainya” saat ia diberi amanah memegang jabatan penting.
Saat Gus Wahid menjabat ketua Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)—sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada masa pendudukan Belanda—Kiai Achmad ditarik sebagai sekretaris pribadi.
Mendapat kepercayaan dari “orang penting” tentu merupakan nilai tambah. Tetapi, Kiai Achmad tak hanya menikmati kedekatannya dengan Gus Wahid, yang lebih penting kedekatan itu membuatnya menjadi lebih arif.