REPUBLIKA.CO.ID, ''Manusia yang sungguh luar biasa,'' begitu penulis Barat bernama de Vaux memuji sosok sejarawan dan geografer Muslim di abad ke-13 M bernama Abu al-Fida. Dedikasi dan pengabdian sang ilmuwan Muslim itu telah diakui peradaban Barat. Tak heran jika namanya diabadikan di sebuah kawab bulan, yakni Abulfeda.
Sejatinya, dia bernama lengkap Abu al-Fida Ismail Ibnu Ali bin Mahmud al-Malik al-Mu'ayyad Imad Ad-din. Ia adalah seorang ahli sejarah keturunan Kurdi yang sangat legendaris. Abu al-Fida terlahir di kota Damaskus, Suriah pada November 1273 M. Ayahnya bernama Malik ul-Afdha -- saudara dari pangeran Hamah yang telah melarikan diri dari serangan dan invasi pasukan dari Mongolia.
Setelah ditelusuri, Abu al-Fida merupakan keturunan dari Ayyub, ayah seorang panglima hebat pada masa Perang Salib yakni Salahuddin al-Ayyubi. Abu al-Fida terlahir dalam kondisi politik dan keamanan yang tak menentu, menyusul serangan bangsa Mongol ke kota-kota Islam.
Pada saat lahir, ayahnya telah diusir dari kerajaan Hama oleh para penyerang dari Mongol yang melakukan invansi kedua pada 1259 di bawah komando Hulagu Kan. Invasi pertama Mongol terjadi pada 1219-1222 yang dipimpin Jenghis Khan. Meski tumbuh dalam situasi politik dan keamanan yang tak menentu, namun semangat Abu al-Fida untuk belajar tak pernah surut.
Pada masa kanak-kanaknya, ia menghabiskan hampir seluruh waktu bermainnya untuk mempelajari Alquran, hadis dan ilmu pengetahuan umum. Mengingat kondisi keamanan yang tak menentu, setelah tumbuh menjadi remaja, Abu al-Fida mencurahkan dirinya untuk terjun dalam bidang militer.
Ia telah turut angkat senjata membela agama Allah SWT saat melawan para Tentara Perang Salib dari Roma. Setelah menerima pendidikan, pada usianya yang ke-12, dia sudah berani berjuang melawan tentara Salib bersama ayahnya bersama Penguasa Dinasti Mamluk. Dia juga tercatat ikut berjuang mengambil alih benteng tentara Salib dari Ksatria Markab Hospitaler.
Ketika menginjak usia 16 tahun, Abu al-Fida masih berjuang bersama ayahnya dan sepupunya untuk merebut Tripoli dari Tentara Salib. Setelah berjuang merebut Tripoli, dia bersama pasukan Muslim lainnya masih berjuang melawan Tentara Salib untuk menaklukan Kastil Roum yang penting guna mengendalikan kekuasaan di wilayah Sungai Eufrat.
Beberapa tahun kemudian, dia berada di bawah perintah Sultan Mamluk Ladjyn berperang melawan orang-orang Kristen di Armenia. Abu al-Fida dalam buku sejarah yang ditulisnya menceritakan kehebatan Sultan Ladjyn yang berasal dari Jerman dan asal-usulnya sebagai keturunan dari Ordo Ksatria Teutonik.
Pada awalnya, Sultan Ladjyn berjuang melawan kaum Kristen di Italia dan melawan orang-orang kafir, kemudian dia datang ke Suriah untuk melawan kaum Muslimin. Namun, ia mendapat hidayat dari Allah SWT. Ladjyn terpesona oleh keagungan agama Islam dan akhirnya memeluk agama Allah. Setelah itu, dia bergabung dengan Dinasti Mamluk, dan secara bertahap naik pangkat sampai akhirnya menjadi seorang Sultan dan menjadi teman Abu al-Fida. (bersambung)