REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Akbar
Dari sejumlah literatur yang ada, tak terungkap jelas berapa lama al-Fathani berada di Mesir. Yang pasti, selepas menuntut ilmu di Mesir, ia kembali ke Makkah. Saat kembali ke tanah kelahirannya, ia mengajar lagi di Masjidil Haram.
Namun, ia tak hanya mengajar di Masjidil Haram. Sesuai wasiat dari leluhurnya, al-Fathani juga sangat membuka diri jika ada santri yang hendak bertanya dan menimba ilmu ke rumahnya. Ilmu yang diberikan al-Fathani semasa berada di Makkah adalah ilmu fikih, tafsir, hadis, bahasa, hingga pengetahuan manasik haji untuk para jamaah haji.
Sebagai seorang pengajar, al-Fathani dikenal sebagai guru yang mumpuni. Seperti diceritakan Syekh Abdul Jabbar, gaya bicara al-Fathani sangat teratur, tidak meledak-ledak. Cara dia menyampaikan ilmu juga mudah dipahami. Sementara dalam hal metode pengajaran, ia banyak mengadopsi cara mengajar ala Al-Azhar.
Tak lupa, Syekh Jabbar juga mendeskripsikan tampilan fisik al-Fathani. Ia mengatakan, ulama kharismatik ini berperawakan sedang dan berpenampilan bersih. Jenggotnya tidak terlalu lebat. Mengenai akhlaknya, Jabbar menyebut, al-Fathani merupakan sosok yang sangat santun.
Ulama garis tengah
Al-Fathani termasuk dalam kelompok ulama garis tengah, begitu yang ditulis Haji Wan Mohd Saghir dalam buku Ulama Nusantara. Walau pernah menimba ilmu dengan tokoh Islam pembaru dan bersahabat dengan pelopor gerakan kaum muda seperti Syekh Tahir Jalaluddin al-Minankabawi, al-Fathani tak pernah menempatkan diri berseberangan dengan kaum tua. Ia tetap mengikuti Mazhab Syafi'i dan Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan sikap seperti inilah, al-Fathani dihormati oleh kaum tua maupun muda.
Ketika pemerintah Arab Saudi berdiri, karier keulamaan al-Fathani melejit. Ia, misalnya, pernah dipercaya sebagai Ketua Syekh Haji al-Jawi Makkah atau ketua para ulama Jawa di Makkah. Jawa di sini merujuk kepada sebutan orang Arab untuk orang Indonesia, Malaysia, Pattani, dan sekitarnya.
Al-Fathani juga pernah menjadi anggota Mudiriyyah al Ma'arif al Amah di bawah pimpinan Sayyid Shalih Syatha. Ia juga pernah menangani bagian kehakiman saat ditunjuk sebagai qadhi di Mahkamah Kubro.
Perjalanan hidup al-Fathani yang sarat dengan aktivitas mengajar dan menyemaikan nilai-nilai Islam itu akhirnya sampai pada muaranya. Malaikat maut menjemputnya pada 1363 Hijriah saat usianya 73 tahun.