REPUBLIKA.CO.ID, Menurut MUI, air daur ulang yang dimaksud dalam ketentuan di atas boleh digunakan untuk berwudhu, mandi, menyucikan najis, dan istinja serta halal diminum. Tak hanya itu, air jenis ini pun dapat dipakai untuk memasak dan kepentingan lainnya selama tidak membahayakan kesehatan. MUI menganggap agar pemerintah perlu memasukkan standar kehalalan air dalam penetapan ketentuan mengenai standar air bersih dan standar air minum serta standar kesehatan air.
Mereka merujuk pada hadis riwayat al-Hakim. Rasulullah pernah ditanya tentang air yang terkena binatang ternak serta binatang buas. “Apabila air telah mencapai dua kulah, tidak me ngandung najis,’’ demikian sabda Rasul. Ia juga mengata kan, sesungguhnya air itu suci dan tidak ada yang menajiskannya. Kecuali, jelas beliau, sesuatu yang meng ubah bau, rasa, dan warna air itu. Pandangan para ulama dalam tata cara penyucian air terkena najis pun dijadikan dasar. Seperti pandangan Imam al-Syirzi dalam Kitab al-Muhazzab dan Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.
Apabila hendak menyucikan air yang najis, harus dilihat dulu penyebabnya. Seandainya karena berubahnya sifat air dan jumlahnya lebih dari dua kulah, bisa disucikan dengan menghilangkan penyebab berubahnya air, baik bau, rasa, maupun warna air tersebut. Juga bisa dengan menambahkan air atau mengambil sebagiannya.
Ketika dimasukkan debu atau gam ping ke dalam air yang najis, lalu hilang perubahannya, ada dua pendapat tentang hal ini. Imam Syafii mengungkapkan, dalam Kitab al-Um bahwa yang seperti itu tidak suci. Sama halnya de ngan kasus menyucikan air dengan memberi kapur atau minyak wangi.
Pendapat lainnya yang tercantum dalam Kitab al- Harmalah, hal itu bisa menyucikannya. Sikap ini yang lebih karena perubahan air telah hilang sehingga air itu seperti sedia kala. Di samping itu, bila air najis itu jumlahnya sedikit, bisa disucikan dengan menambahkan air ke dalamnya hingga dua kulah.