Kamis 31 Jan 2013 14:15 WIB

Taklukkan Medan Dakwah, Menantang Maut (1)

Warga Dayak sedang mengucapkan syahadat
Foto: bwa
Warga Dayak sedang mengucapkan syahadat

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Susie Evidia Y

Ingar-bingar kehidupan Jakarta ditinggalkan, lalu hijrah ke pedalaman Dayak di Seruyan, Palangkaraya. Langkah ini dilakukan ustaz muda Ahmad Furqon sejak Februari 2012.

Baginya sederhana jika semua orang ingin berdakwah di kota. Lantas, siapa yang akan menyampaikan Alqudan dan hadis di pedalaman? Umat yang ada di sana pun, membutuhkan asupan dakwah yang sama. “Sebagai dai tak boleh pilih lokasi. Di mana pun harus siap,” kata Ustaz berusia 23 tahun ini.

Lulus dari Mahad Tahfiz Quran Hidayatullah, Cikarang, Bekasi, Furqon diterjunkan berdakwah seorang diri oleh Pimpinan Pusat Hidayatullah ke Seruyan. Jaraknya 200 km dari kabupaten kota. Ia harus memasuki hutan belantara. Tak ada rumah megah di sana. Sehingga, ia pun harus membangun tenda berbahan terpal sebagai tempat tinggal. Di sana tanpa penerangan, bahkan listrik belum menjamah daerah ini hingga sekarang.

Furqon berkisah bagaimana ia mesti menempuh puluhan kilometer untuk menuju lokasi dakwah yang jauhnya mencapai 80 hingga 90 km dari tendanya. Medannya tak rata, masih licin dan berbukit terjal. Pakaian harus selalu sedia dua helai karena jika musim hujan, akan basah kuyup, sedangkan musim kemarau penuh dengan debu. “Medan yang sulit ditempuh sehari semalam. Makanya, kalau dakwah, saya seminggu di pedalaman, setelah itu baru pulang.”

Menuju medan dakwah biasanya memakai motor. Tapi, kondisi kendaraannya harus prima. Karena, Furqon bersama temannya pernah mengalami bocor tengah malam di tengah hutan. Setelah jalan selama tiga jam, baru ditemukan desa terdekat. 

Sasaran dakwah yang dituju pria asal Semarang ini adalah suku Dayak dan pendatang yang belum mengenal Islam. Setahun menjadi dai, Furqon sudah banyak mengislamkan warga suku Dayak Bakumpay. Mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, hingga anak-anak antusias belajar Islam. Saat Ramadhan, para orang tua berebut memasukkan anak-anaknya mengikuti pesantren. Padahal, tempatnya terbatas hanya 4 x 6 meter, sedangkan santrinya lebih dari 20 anak.

Kendala utama adalah komunikasi. Orang pedalaman kurang paham bahasa Indonesia, sedangkan Furqon belum fasih bahasa Dayak. Contohnya, ketika dijelaskan tentang banyaknya jumlah nabi, masyarakat pedalaman menafsirkan ada nabi kayu, nabi air, nabi tanah. Ketika mau mencari ikan di sungai, harus izin ke nabi air. “Begitulah, saking awamnya mereka terhadap Islam dan pengaruh kepercayaan lama masih melekat,” ujarnya.

Namanya di pedalaman, Furqon mengakui, masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi umat di sana. Jumlah mushaf Alquran dan buku-buku doa masih sangat minim. Bacaan Iqra untuk anak-anak juga terbatas sehingga harus bergilir ketika belajar mengaji. Masih banyak pula Muslimah yang belum memiliki mukenah (rukuh --Red) serta sarung untuk para prianya.

Kebutuhan mobilitas dai pun sangat terbatas. Hanya ada satu motor yang digunakan untuk para dai. Tak jarang, ia harus bergantian memakai motor kala jadwal dakwah bentrok. Ini tak jadi soal. Hidupnya tetap bahagia.

Meskipun secara finansial, tingkat ekonominya masih di bawah cukup. Kini, ia telah menikah dengan perempuan asal suku Dayak. Ia pun berseloroh, “Pedalaman juga bumi Allah. Dan, Allah yang telah menjamin rezeki, jodoh, hidup, mati bagi kami,” tuturnya mantap.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement