REPUBLIKA.CO.ID,Sengketa Sabah tampaknya tidak akan selesai dalam tiga dekade ke depan. Filipina, setelah kegagalan Operasi Merdeka, seakan tidak ingin lagi mengangkat persoalan ini ke forum internasional.
Malaysia terus membangun infrastruktur Sabah, mengeksploitasi seluruh sumber daya alam (SDA)-nya, dan sebisa mungkin menyejahterakan masyarakatnya. Filipina hanya bisa gigit jari.
Di sisi lain, keluarga Kesultanan Sulu mulai tidak puas dengan uang sewa yang 1.500 dolar AS per tahun dan berusaha menuntut kompensasi 10 persen dari gross domestic product (GDP) yang mencapai 100 miliar dolar AS. Bagi orang Tausug di Mindanao, Tawi Tawi, Palawan, dan Sulu, Sabah akan tetap menjadi bagian dari kehidupan masa depan mereka.
Bagi pemerhati masalah internasional, persoalan Sabah harus dipahami dari dua perspektif pihak yang bersengketa.
Perspektif Filipina
Bagi kebanyakan orang Filipina, klaim Malaysia terhadap Sabah menggelikan. Jika Kuala Lumpur benar-benar memiliki Sabah, mengapa masih harus membayar uang sewa ke keluarga Sultan Sulu?
Lebih menggelikan lagi, jika masih menganggap Sabah sebagai tanah sewa, tidak selayaknya Malaysia membayar jumlah yang sama dengan 135 tahun lalu. Betapa 5.000 dolar Meksiko, jumlah yang tertera dalam Perjanjian 1878, tidak sama dengan saat ini.
Dalam perjanjian itu tertera, penyewa dilarang mentransfer Sabah ke negara, perusahaan, atau individu lain tanpa restu pemerintah atau keluarga Sultan Sulu. Baron von Overbeck dan Alfred Dent, penyewa Sabah, memang tidak melanggar kontrak ini, tapi Inggris secara sepihak mengambil wilayah dari keduanya dan dimasukkan ke dalam peta tanah jajahan pada 10 Juli 1946.
AS, menurut Sakuragi, sebenarnya telah lama melihat keinginan Inggris mencaplok Sabah tanpa membatalkan perjanjian sewa dengan Kesultanan Sulu. Meski secara sepihak membatalkan Perjanjian Bates, AS secara resmi dua kali mengingatkan Inggris bahwa Sabah masih bagian Kesultanan Sulu karena Spanyol tidak pernah memperoleh kedaulatan atas Borneo. Pertama pada 1906 dan kedua pada 1920.
Menurut AS, Inggris tidak bisa mentransfer semua klaim kedaulatan atas Borneo Utara seperti disebutkan dalam Protokol Madrid 1885. Adalah benar Kesultanan Sulu, lewat Perjanjian 1878, mengakui kedaulatan Spanyol atas Jolo dan pulau-pulau sekelilingnya. Namun, Kesultanan Sulu tidak pernah memasukkan Sabah ke dalam perjanjian itu.
Tahun 1939, sengketa kepemilikan Sabah masuk ke pengadilan. Adalah Dayang Hadji Piandao dan delapan ahli waris Sultan Sulu—termasuk Putri Tarhata Kiram—yang mengajukan gugatan kepada penyewa. CFC Makaskie, hakim ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara, menguatkan keabsahan klaim ahli waris. Artinya, Sabah sebenarnya telah menjadi milik ahli waris Sultan Sulu sejak saat itu.
Sakuragi melihat kata “permanent lease” yang tertera dalam perjanjian sewa Sabah bertentangan dengan hukum internasional karena syarat sewa kontrak wilayah hanya bisa berjangka 99 tahun. Dinsti Qing menyewakan Hong Kong dan Makau kepada Inggris dan Portugal dan kembali ke pangkuan Pemerintah Cina—pengganti Dinasti Qing—setelah 99 tahun.
Jika peraturan ini diterapkan, Sabah seharusnya telah kembali menjadi milik keluarga Sultan Sulu pada 1977. Namun jika hukum internasional tidak diberlakukan terhadap Sabah, sekeping tanah Kalimantan Utara ini akan menjadi wilayah sewa terlama dalam sejarah.