REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menduga ada 16 bank yang teridentifikasi melakukan praktik konglomerasi bank. Mereka biasanya membentuk badan usaha (holding) dan menguasai hampir 60 persen dari total industri keuangan.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad menyebutkan 16 bank ini terdata mempunyai anak perusahaan investasi, multi finance, dan operasionalnya dilakukan lintas sektoral. Saat ini, bank sementara diawasi oleh Bank Indonesia (BI), sedangkan anak-anak usahanya diawasi oleh lembaga berbeda, seperti pasar modal yang saat ini diawasi OJK.
"Saat ini kami meminta bank yang membentuk holding itu mengawasi anak-anak usahanya yang berbentuk perusahaan. Sementara OJK akan memanggil bank-bank bersangkutan, khususnya bank yang sudah membentuk holding," ujar Muliaman dijumpai di Jakarta, Selasa (9/4).
Tahun depan, kata Muliaman, OJK akan sepenuhnya mengawasi sektor perbankan, Untuk mengoptimalkan pengawasan dan edukasi di daerah, OJK juga akan membuka kantor-kantor di setiap daerah. Misalnya kantor yang sudah ada saat ini di Surabaya (Jawa Timur) dan Makassar (Sulawesi Selatan).
OJK ke depannya mengemban tugas berat mengawasi praktik-praktik lembaga keuangan, misalnya terkait konglomerasi bank atau kartel bank. Pada kesempatan terpisah, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan BI tak melihat adanya indikasi kartel di Indonesia dengan melihat beberapa faktor.
Pertama, saat ini secara individu bank wajib melaporkan besaran suku bunga dasar kredit (SBDK). Kedua, kondisi SBDK saat ini sudah memperlihatkan kondisi bank sebenarnya. "Bukan hasil kesepakatan dengan bank lain," ujar Perry.
Ketiga, saat menentukan besaran suku bunga kredit, bank tetap bersaing untuk menarik minat masyarakat. Sehingga, suku bungnya relatif sana. Meski ada sedikit perbedaan, namun Perry menegaskan ini bukan praktik kartel. Sebab, tak ada unsur persekongkolan.
Keempat, suku bunga kredit dan deposito di Indonesia cenderung menurun. Jika ada oligopoli, maka suku bunga minimal pasti stabil dan tak akan turun.