REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah merevisi Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas). Namun, Muhammadiyah tetap berkukuh menolak dan mendesak DPR menghentikan pembahasan RUU Ormas.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin menilai, RUU Ormas tidak diperlukan oleh masyarakat dan ormas di Indonesia.
Menurut Din, RUU ini terlalu memosisikan pemerintah memiliki kewenangan mengatur terlalu ketat eksistensi atau keberadaan ormas. Padahal, dalam UUD 1945 jelas ditegaskan bahwa keberadaan ormas dijamin dalam pasal 28 tentang berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat di muka umum.
Harusnya, kata Din, bukan eksistensinya yang diatur, tapi aktualisasi dan perilakunya.
"Sudah hentikanlah, ini tidak urgen. Banyak hal urgen yang perlu dibahas di DPR," kata Din usai menemui perwakilan Pansus RUU Ormas DPR dan pemerintah di kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Rabu (10/4).
Din menambahkan, alasan pemerintah untuk mengatur ormas anarkis tidak tepat. Kalau hanya untuk mengatur ormas anarkis, sudah ada hukumnya sendiri. Tinggal bagaimana penegakan hukum itu diberlakukan. Bukan malah mengatur dan menyetarakan seluruh ormas.
''Jangan karena satu kasus yang sangat bisa jadi dilakukan oleh perorangan membuat organisasinya dibubarkan atau ditahan SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Kalau seperti ini, namanya rezim ekspresif dan otoriter,'' papar Din.
Menurut Din, selama ini belum ada komunikasi intensif dalam pembahasan RUU Ormas ini dengan ormas sendiri. Akibatnya, ada respons dan reaksi di tengah jalan. Muhammadiyah tetap pada sikapnya bukan karena ini merugikan Muhammadiyah dengan pembatalan status badan hukum berdasar Staatsblad 1870 Nomor 64. Namun karena karena secara esensial akan membalikkan arah jarum jam sejarah dan membuka peluang bangkitnya rezim represif dan otoriter.
"Karena RUU Ormas banyak mengatur soal administrasi, yaitu UU administrasi, tentang ormas dan menegakkan rezim perizinan," tambah Din.
Artinya, kata dia, ormas harus berizin. Yaitu mengurus pendaftaran, persyaratan dan proses perizinan dapat diterima atau ditolak. Bahkan, setelah ormas eksis ada sanksi bahkan pelarangan yang sifatnya administratif misal pembubaran dan pembekuan. Hal inilah yang menurut Muhammadiyah sebagai antidemokrasi.