REPUBLIKA.CO.ID, Perkara seorang siswi di Tunisia yang diskors dari sekolahnya karena memakai cadar ternyata berbuntut panjang. Sekelompok pengunjuk rasa mendatangi sekolah menengah tersebut menuntut kebijakan sekolah soal pelarangan cadar itu segera dihapuskan.
Salah satu guru di sekolah itu, Murad Ben Hamouda mengatakan para pengunjuk rasa sempat memasuki kompleks sekolah dan mengancam direktur sekolah. Menurut Hamouda, pengunjuk rasa berasal dari kelompok salafi setempat yang memang mewajibkan seluruh anggotanya yang perempuan untuk mengenakkan cadar.
Tidak disebutkan berapa jumlah pengunjuk rasa yang mendatangi sekolah itu. Juga tidak disebutkan apakah ada penangkapan pengunjuk rasa atau komentar dari pejabat pemerintah Tunisia. Begitu laporan yang dilansir laman Alarabiya, Rabu (10/4).
Tahun lalu, Kementerian Pendidikan Tunisia pernah menetapkan pelarangan cadar bagi siswi ke sekolah. Namun, kebijakan pemerintah itu mendapat penentangan kuat dari kelompok muslim lainnya.
Perselisihan antara kelompok Islamis dan sekuleris di Tunisa kian meruncing sejak pemimpin Tunisia, Zine al-Abidine Ben Ali digulingkan dari kekuasaannya dua tahun lalu. Sejak itu, masing-masing kelompok terus berebut kekuasaan.
Partai Ennahda yang saat ini berkuasa menjadikan demokrasi sebagai dasar pemerintahan meskipun mereka mengklaim sebagai partai Islam.
Sementara kelompok Salafi di Tunisia terus mendesak pemerintah agar hukum Islam dijadikan dasar hukum negara. Hal ini membuat kelompok sekuler dan moderat merasa khawatir akan “hilangnya” kebebasan individu, hak-hak perempuan dan demokrasi.