Ahad 21 Apr 2013 16:56 WIB

FBI: Tsarnaev Bersaudara Hanya Kaki Tangan

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Nidia Zuraya
Dhzokhar Tsarnaev, diidentifikasi FBI sebagai 'Tersangka Kedua' dalam kasus pengeboman Maraton Boston, 2013.
Foto: BOSTON POLICE DEPARTMENT
Dhzokhar Tsarnaev, diidentifikasi FBI sebagai 'Tersangka Kedua' dalam kasus pengeboman Maraton Boston, 2013.

REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON -- Keterlibatan pelaku bom Boston dengan kelompok ekstrimis menjadi prioritas utama penyelidikan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI). FBI mencurigai dua pelaku bom Boston berafiliasi dengan kelompok terorisme internasional.

Kantor beita Reuters melansir, Ahad (21/4), kecurigaan FBI tersebut setelah berhasil merekap data semua perjumpaan dan komunikasi tersangka satu Tamerlan Tsarnaev (26 tahun) dengan setiap orang, sebelum dirinya ditembak mati saat Jumat (19/4) lalu. Tercatat, Tamerlane pernah menyambangi Moskow, Rusia, pada Januari 2012 lalu.Ditambah lagi, laporan intelijen Rusia, tentang aktivitas Tamerlan yang dikirim ke AS pascapenangkapan tersangka dua, Dzhokhar ''Djohar'' Tsarnaev (19 tahun).

Dikatakan FBI, dua kakak beradik tersebut dicurigai sejak 2011 lantaran keterlibatannya bersama kelompok militan di bagian selatan Rusia. Namun, hampir sepekan pascaledakan bom panci tersebut, belum ada interview verbal dengan pelaku. Djohar dikatakan masih mengalami kondisi kritis dan tidak sadar di Rumah Sakit Beth Israel Deaconess, Kota Boston.

Pemuda ini ditangkap setelah menjadi buron FBI selama dua hari, sejak Kamis (18/4). Djohar mengalami luka serius dibagian lehernya. Kepolisian menembak kerongkongannya dari jarak jauh saat pengejaran di sebuah dermaga pribadi di Kota Watertown, Boston, Sabtu (20/4). ''Tersangka (Djohar) masih hidup, dan mendapat penjagaan ketat,'' kata Gubernur Massachusetts,  Deval Patrick, Sabtu (20/4).

Menurut Patrick, tim investigasi punya sejuta pertanyaan untuk Djohar. Djohar dikatakan satu-satunya tersangka yang diharapkan memberi informasi untuk penelusuran tingkat lanjut. ''Ini serius. Djohar belum bisa dimintai keterangan. Belum ada (penyelidik) yang menemuinya,'' sambung Patrick.

BBC News mengatakan, berdebatan mengenai Djohar-pun menyeruak di AS. Desakan publik menghendaki hukuman mati untuk Djohar. Hukum Federal mengatur ancaman mati bagi pelaku teror yang menewaskan sipil secara massal. Djohar dikatakan berada dalam zona tersebut.

Namun, Negara Bagian Massachusetts tidak mengadopsi sanksi mati dalam tindakan kejahatan. Hukum di negara bagian mendefenisikan perbuatan Djohar adalah kriminal tingkat tinggi. Kejaksaan pun belum memutuskan untuk menentukan tuntutan.

Patrick melanjutkan Djohar akan mendapat peradilan yang setimpal. Pemerintah negara bagian-pun sudah mempersiapkan pengacara cuma-cuma untuk mendampingi Djohar di peradilan. Namun dia tidak menyebutkan nama pengacara tersebut.

Kelompok Perserikatan dan Kebebesan Sipil di AS (ACLU) mengatakan, Djohar punya hak untuk menolak setiap interogasi oleh kepolisian federal. Organisasi sipil ini juga mendesak agar pemerintah segera menyediakan pengacara untuk Djohar.

ACLU meminta pemerintah mempertimbangkan usia Djohar yang masih remaja. ''Menolak untuk memenuhi hak-haknya adalah ketidakadilan bagi hukum di AS,'' demikian pernyataan ACLU, seperti dilansir BBC News, Ahad (21/4).

Pernyataan ACLU ini mendapat reaksi cepat dari berbagai pihak, terutama politisi. Senator Republik dari Arizona, John McCain dan Lindsey Graham dari Caroline Selatan mengatakan, Djohar pantas untuk dihukum mati. Kelompok oposisi di pemerintatahan ini menganggap Djohar dan 'afiliasinya' adalah musuh utama AS. McCain menolak tersedianya pengacara untuk Djohar.''Kita harusnya memahami, bagaimana agar Bom Boston tidak terulang lagi,'' ujar McCain.

McCain mendesak agar FBI dan penyelidik lainnya berkolaborasi untuk membuat Djohar bicara dan memberikan informasi atas setiap keterlibatannya dalam kegiatan terorisme.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement