REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu tengah mengkaji pengenaan royalti batu bara yang lebih tinggi terhadap perusahaan batu bara. Diharapkan, pengenaan royalti dapat meningkatkan penerimaan negara, khususnya dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pelaksana Tugas Kepala BKF Bambang PS Brodjonegoro mengatakan perhatian saat ini adalah meningkatkan besaran royalti perusahaan batu bara. Dipastikan, besarannya akan lebih tinggi ketimbang saat ini. Meski pun ia belum memastikan angka pastinya. "Kita hitung dulu," ujar Bambang, Selasa (23/4).
Sebagai catatan, royalti batu bara untuk perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) sebesar 13,5 persen. Sedangkan untuk perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) tercatat maksimal tujuh persen.
Bambang menjelaskan fokus BKF tersebut tak lepas dari masih rendahnya PNBP untuk royalti batu bara. Jika pengenaan royalti yang baru telah berjalan efektif, BKF baru akan mengkaji bea keluar secara mendalam. Menurutnya tak mungkin jika peningkatan royalti batu bara dan pengenaan bea keluar diterapkan bersama-sama. "Kalau dua-duanya, nanti takutnya industri batu baranya yang collapse," ujar Bambang.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, realisasi penerimaan iuran dan royalti batu bara selama 2012 mencapai Rp 1,17 triliun. Rinciannya Rp 294 miliar tercatat di kas negara dan valas 90,7 juta dolar AS (Rp 880,9 miliar) juga tercatat di kas negara.