REPUBLIKA.CO.ID, ADEN -- Dua serangan pesawat tak berawak (drone) menewaskan tujuh tersangka gerilyawan Alqaidah di Yaman selatan, Sabtu (1/6) pagi. Dugaan pemilik drone tersebut mengerucut kepada Amerika Serikat.
Dugaan itu bukan tanpa dasar. Sebab, serangan itu terjadi sembilan hari pasca-Presiden AS, Barack Obama mengatakan hanya akan menggunakan serangan lewat udara di Yaman.
Washington memandang Alqaidah di Semenanjung Arab (AQAP) sebagai sayap paling berbahaya gerakan itu setelah mencoba untuk meluncurkan serangan bom pada pesawat internasional.
Seorang pejabat Yaman mengatakan, tujuh orang dalam dua mobil mengemudi di Kabupaten al-Mahfad di Provinsi Abyan, Yaman selatan di mana kelompok gerilyawan memiliki kehadiran yang kuat.
Islamis terkait dengan Al Qaida menguasai beberapa kota di Yaman selatan pada 2011 setelah protes Musim Semi Arab melemahkan pemerintah di Sanaa. Namun, tentara Yaman dan daerah suku milisi merebut kembali kota-kota itu tahun lalu dengan bantuan AS.
Lemah dalam penegakan hukum, Yaman yang miskin terletak pada rute utama internasional pengiriman energi dan perbekalan, perbatasan panjang yang keropos dengan Arab Saudi, eksportir minyak terbesar di dunia.
Presiden Obama berada di bawah kecaman di Amerika Serikat untuk penggunaan serangan pesawat tak berawak pemerintahnya yang telah menyebabkan korban sipil.
Dalam pidatonya, Obama mengatakan Departemen Pertahanan sekarang akan memimpin dalam meluncurkan serangan mematikan pesawat terbang tak berawak Badan Intelijen Pusat (CIA), yang berarti akan ada memerlukan program pengawasan Kongres.