REPUBLIKA.CO.ID,Protes Lapangan Tiananmen 1989 (Insiden 6/4 atau Pembantaian Lapangan Tiananmen) adalah sebuah rangkaian demonstrasi yang dipimpin mahasiswa Cina yang diadakan di Lapangan Tiananmen di Beijing, Republik Rakyat Cina, antara 15 April dan berakhir dengan pembantaian mahasiswa pada hari ini 1989.
Protes ini ditujukan terhadap ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik yang kemudian merembet menjadi demonstrasi pro-demokrasi yang memang merupakan suatu yang belum lazim di Cina yang otoriter. Lebih dari 3.000 orang meninggal sebagai akibat tindakan dari pasukan bersenjata.
Mahasiswa memulai protes pada pertengahan April 1989, dipicu oleh kematian Hu Yaobang, sekretaris jenderal partai yang mengundurkan diri. Hu dipandang sebagai seorang yang berpikiran liberal dan dipaksa mengundurkan diri dari posisinya oleh Deng Xiaoping. Banyak orang, terutama kaum intelektual, menganggap ini sebagai sebuah perlakuan yang tidak adil.
Protes bermula dalam skala kecil, dalam bentuk peringatan terhadap Hu Yaobang dan meminta partai membaharui pandangan resmi mereka terhadap Hu. Protes ini berkembang setelah berita tentang konfrontasi antara mahasiswa dan polisi menyebar.
Pada pemakaman Hu, sekelompok besar mahasiswa berkumpul di lapangan Tiananmen dan meminta permohonan di atas, namun gagal, untuk bertemu Perdana Menteri Li Peng, yang dipandang luas sebagai saingan politik Hu. Oleh karena itu para pelajar mengadakan sebuah mogok di universitas di Beijing. Pada 26 April, seorang editor Harian Rakyat menuduh mahasiswa merencanakan kekacauan. Pernyataan ini membuat kemarahan para mahasiswa, dan pada 27 April sekitar 50.000 mahasiswa pergi ke jalan-jalan Beijing, tidak menghiraukan perintah bubar yang diumumkan oleh penguasa dan tetap menuntut pemerintah mencabut pernyataan.
Pada 4 Mei, sekitar 100.000 pelajar dan pekerja berparade di Beijing meminta pemerintah untuk reformasi media bebas dan sebuah dialog formal antara penguasa dan wakil pilihan mahasiswa. Pemerintah menolak dialog tersebut, hanya setuju untuk berbicara dengan anggota dari organisasi pelajar yang ditunjuk. Pada 13 Mei, banyak kelompok mahasiswa menempati lapangan Tiananmen dan memulai protes lapar, meminta pemerintah menarik tuduhan yang ditulis di Harian Rakyat dan memulai pembicaraan dengan wakil mahasiswa. Ratusan mahasiswa turut serta dalam protes lapar dan didukung oleh ratusan ribu mahasiswa yang memprotes dan juga penduduk Beijing yang berakhir selama seminggu.
Meskipun pemerintah mengumumkan Undang-undang Darurat pada 20 Mei, demonstrasi terus berlanjut. Setelah para pemimpin Komunis berunding keluarlah perintah untuk menggunakan kekuatan militer untuk memecahkan krisis itu, dan Zhao Ziyang ditendang dari kedudukannya sebagai pemimpin politik karena dianggap gagal dalam mencegah aksi militer. Lalu Partai Komunis memutuskan untuk menghentikan situasi itu sebelum berkembang lebih jauh. Tentara dan tank-tank dari Brigade 27 dan 28 dari Tentara Pembebasan Rakyat dikirim untuk mengendalikan kota. Pasukan-pasukan ini diserang oleh para buruh dan mahasiswa Cina di jalan-jalan kota Beijing dan kekerasan yang muncul sesudah itu mengakibatkan kematian di antara penduduk sipil dan militer. Pemerintah Cina mengakui bahwa beberapa ratus orang mati dalam insiden ini.
Angka-angka perkiraan korban sipil berbeda-beda: 400-800 (CIA), dan 2.600 (Palang Merah Cina). Para mahasiswa pengunjuk rasa mengklaim bahwa lebih dari 7.000 orang yang terbunuh. Setelah kekerasan ini, pemerintah melakukan penangkapan di mana-mana untuk menekan sisa-sisa pendukung gerakan itu. Pemerintah membatasi akses pers asing dan mengendalikan liputan atas kejadian-kejadian di pers daratan Cina. Penindasan terhadap protes Lapangan Tiananmen mengundang kecaman yang luas oleh dunia internasional.