REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai salah satu negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia disarankan lebih mengambil peran proaktif dalam upaya penyelesaian konflik di Suriah.
"Indonesia ini salah satu negara Muslim terbesar di dunia, seharusnya bisa memanfaatkan status itu untuk meningkatkan peran proaktif dalam upaya penyelesaian konflik Suriah," kata Pengamat hubungan internasional IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Fuad Mardhatillah saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (5/6).
Fuad berpendapat, pendekatan soft-power harus lebih diutamakan bagi Indonesia, mengingat pendekatan hard-power boleh jadi cenderung memicu pihak-pihak yang bertikai.
Indonesia, lanjut Fuad, memanfaatkan statusnya bisa menjembatani kedua pihak bertikai untuk mencoba memulai perundingan damai secara informal. "Indonesia bisa mengutus perwakilan untuk mendekati Presiden Bashar, ataupun tokoh-tokoh di sekitarnya kemudian juga para oposan. Di situ Indonesia bisa berperan, secara informal," kata dia.
Fuad menilai, Indonesia sejauh ini cenderung hanya mengambil sikap berbentuk tidak nyata terkait Suriah.
Pada saat kunjungan ke Amerika Serikat pertengahan bulan lalu misalnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa hanya menyampaikan keprihatinan dan harapan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait masalah Suriah.
Marty menyatakan Indonesia mendukung penuh resolusi PBB yang berkaitan dengan upaya penghentian kekerasan dan bantuan kemanusiaan di Suriah. Akan tetapi dalam resolusi PBB yang mengakui pembentukan koalisi nasional Suriah untuk mendukung perubahan di negeri yang masih dilanda konflik tersebut, Indonesia memilih abstain.
Marty berpendapat bahwa resolusi tersebut menunjukkan seolah-olah PBB bisa serta merta menentukan mana pemerintahan yang sah di suatu negara, padahal hal tersebut seharusnya menjadi hak penuh warga Suriah sendiri.