REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Dr. Thomas Ola Langoday mengusulkan agar pemerintah dan DPR harus berani mengambil keputusan untuk mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) 100 persen dengan berkaca pada krisis BBM beberapa waktu lalu.
"Memang butuh keberanian dari pemerintah tetapi kalau kita berkaca pada krisis BBM beberapa waktu lalu, maka sudah saatnya pemerintah mencabut subsidi BBM 100 persen," kata Thomas Ola Langoday, di Kupang, Rabu (12/6) terkait rencana pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi.
Menurut dia, fakta menunjukkan pada saat krisis BBM terjadi beberapa waktu lalu, masyarakat mampu membeli bahan bakar minyak (BBM) dengan harga Rp25 ribu per liter di pasaran. Bahkan di beberapa daerah seperti di Nusa Tenggara Timur, BBM dijual dengan harga Rp10-15 ribu per botol.
"Jadi kelangkaan BBM beberapa waktu lalu, mesti membuka pikiran semua pihak. Saat kelangkaan BBM, orang berani membeli BBM premium dengan harga IDR 20.000/ liter, sementara jika subsidi dicabut 100 persen maka harga BBM mungkin hanya IDR 10.000," katanya.
"Artinya jika harga BBM per liter IDR 20.000, saja masyarakat dapat membelinya apalagi hanya dengan IDR 10.000/ liter, kata Dekan Fakultas Ekonomi Unwira ini menambahkan.
Menurut dia, fakta menunjukkan bahwa subsidi BBM selama ini lebih banyak dinikmati oleh golongan menengah atas. Oleh sebab itu, solusinya adalah mencabut subsidi BBM 100 persen dan mengalihkannya dengan membangun sarana prasarana publik yang dinikmati golongan miskin.
Hanya saja, semuanya tergantung pada komitmen pemerintah, mau membuat rakyat terus bergantung atau mandiri. Jika ingin membuat masyarakat mandiri dalam jangka panjang maka cabutlah subsidi sekarang juga. Gunakan dana itu untuk membantu masyarakat miskin agar mereka segera keluar dari lingkaran kemiskinan.
Bantulah juga rakyat dengan sarana dan prasarana yang produktif dalam jangka panjang seperti lahan yang subur, rumah yang layak huni, transportasi yang layak dan peralatan produksi sesuai jenis usaha dan kebutuhan mereka.
"Ini kalau pemerintah ingin rakyat mandiri. Tidak lagi hidup terus bergantung pada belas kasihan pemerintah yang memberi mereka raskin atau bantuan langsung tunai seperti yang dilakukan pemerintah selama ini," katanya.