REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polisi kembali menjadi korban dalam aksi penembakan di tengah jalan oleh orang tak dikenal. Terulangnya lagi kejadian ini menimbulkan kesangsian akan kinerja intelejen dalam membaca pergerakan para pelaku.
Pengamat intelejen Indonesia, Wawan Hadi Purwanto mengatakan, faktor intelejen secara kasat mata memang tidak terlihat. Namun dalam prakteknya, informasi mengenai kejahatan tentu sudah intelejen raba. Tetapi dalam kasus penembakan ini, Wawan melihat para pelaku pandai mencari dan memanfaatkan kesempatan.
Menurutnya, tak bisa aksi penembakan ini diredam tanpa melibatkan praktek nyata dari kesigapan polisi itu sendiri. "Ada yang menyebut intel kecolongan. Tapi ini tidak bisa dikatakan demikian. Polisi seharusnya sudah waspada bahwa ancaman akan selalu ada," kata dia dihubungi, Rabu (11/9).
Tidak dapat dipungkiri, kata dia, bahwa para pelaku penembakan ini memang benar adanya adalah kelompok terorisme. Anggapan ini, kata dia, berbanding lurus dengan tujuan teroris Indonesia yang menganggap polisi sebagai musuh abadi. Sehingga rentetan penembakan polisi jelas mengarahkan kelompok-kelompok terorisme sebagai pelaku. "Mereka sudah bersumpah sampai kiamat akan memerangi polisi. Jadi ya jelas," kata Wawan menyimpulkan.
Wawan mengatakan, Polri sudah mengetahui ikhwal ikrar jaringan teroris ini sejak tahun lalu. Seharusnya, sumpah perang terbuka yang jaringan teroris dengungkan mesti ditanggapi serius oleh polisi.
Keseriusan itu menurutnya dapat dipraktekan dengan selalu waspada dan melaksanakan prosedur tetap yang telah pimpinan Polri canangkan. Dia berujar, sebuah kesalahan fatal bila polisi tetap nekat melakukan dinas seorang diri di jalanan. "Ini perlu diperhatikan. Kan sudah jelas diimbau, ke mana-mana harus berdua. Supaya kejadian serupa bisa dicegah."