REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sedang memformulasikan perjanjian internasional yang tepat untuk mengatasi masalah penggelapan pajak (tax evasion) dan pemindahan keuntungan (profit shifting) lintas batas negara yang dilakukan perusahaan multinasional. Deputi Sekretaris Jenderal OECD Yves Leterme kepada wartawan di sela-sela perhelatan APEC Finance Ministers' Meeting di Nusa Dua, Bali, akhir pekan ini, menyebut dalam satu bulan ke depan, OECD akan segera menuntaskan draft perjanjian tersebut.
"Akan ada bentuk hukum untuk mengatasi penghindaran pajak dan tindakan-tindakan yang berujung pada penghindaran pajak, praktek-praktek merugikan dan perencanaan pajak yang agresif (base erosion and profit shifting/BEPS)," papar Yves.
Yves mengatakan pada dasarnya negara-negara anggota G-20 yang menugaskan OECD untuk proyek ini telah menyatakan persetujuannya. Setelah draft perjanjian rampung, Yves mengatakan setiap negara harus mengadaptasikannya dengan produk hukum di masing-masing negara. "Selain tentunya diadaptasikan ke perjanjian-perjanjian yang telah ada," kata dia.
OECD, kata Yves, sedang mencari cara untuk membuat pengadaptasian perjanjian ini lebih mudah dan cepat. "Kita tidak punya banyak waktu," ujarnya.
Setelah melewati fase teknis di atas, OECD menyarankan agar masing-masing negara membuat semacam peta jalan (road map) dari perubahan perjanjian dan peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas menjadi tanggung jawab negara-negara G-20 dan negara-negara lainnya. "Semua terserah mereka. Tentu saja OECD memiliki platform dari segala macam bentuk perjanjian dan kesepakatan dalam domain perpajakan. Tetapi, tanggung jawab yang lebih penting tentunya ada di tingkat nasional dan kebijakan nasional di antara negara-negara G-20," kata Yves.
Lebih lanjut, Yves mengatakan perilaku penghindaran pajak adalah sesuatu yang 'normal' bagi perusahaan. Akan tetapi, kompetisi antar negara menjadi tidak sehat, khususnya dalam menarik investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). Selain itu, Yves menyebut peperangan terhadap tindakan semacam ini penting demi menjamin keberlangsungan penerimaan perpajakan suatu negara dari perusahaan multinasional.
Praktek penghindaran pajak tidak hanya merugikan negara maju semata. Negara-negara berkembang seperti Indonesia pun dirugikan. "Harapannya agar kapasitas ekonomi lebih kuat seiring kecukupan pembiayaan dari sisi pendidikan, kesehatan dan beberapa aspek lainnya," ungkap Yves.