REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Sri Hastuti Puspitasari menilai Mahkamah Konstitusi (MK) perlu segera mendapatkan pengawasan internal dan eksternal untuk mengantisipasi terjadinya praktik koruptif serta penyalahgunaan wewenang lainnya.
"Peristiwa yang melibatkan pucuk pimpinan MK membuktikan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat berdiri sendiri melainkan perlu mendapat pengawasan," kata Sri Hastuti di Yogyakarta, Jumat (4/10).
Menurut dia, pengawasan tersebut bisa dilakukan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, serta tim yang dibentuk internal MK sebagai pengawas internal.
"Selain pengawasan eksternal, pengawasan internal juga perlu dibentuk oleh MK seperti halnya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA)," katanya.
Menurut dia potensi korupsi masih ada mengingat MK selalu berhubungan dengan persoalan produk politik yang dinilai rawan dengan proses negoisasi.
Apalagi, kata dia, pada 2014 merupakan tahun politik di mana akan banyak memunculkan persoalan politik yang akan disidangkan di peradilan MK.
"Potensi korupsi ke depan masih dapat terjadi kapan saja di tubuh MK, apalagi menghadapi pemilu 2014 yang tentu akan banyak persoalan sengketa politik," katanya.
Untuk mengontrol secara permanen, kata dia, bukan hanya dibutuhkan majelis kehormatan hakim (MKH).
Sebab, MKH hanya berfungsi sementara yang berlaku ketika terjadi pelanggaran etika oleh hakim.
"Majelis kehormatan sifatnya kondisional dan represif. Sementara pengawas eksternal/internal akan lebih bersifat prefentif," katanya.
KY, menurut dia, pernah akan melakukan pengawasan terhadap hakim MK seperti dilakukan terhadap hakim di lembaga penegakan hukum lainnya.
Namun upaya tersebut terhambat karena hasil uji materi (judicial review) undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pada 2006, diputuskan bahwa kewenangan pengawasan KY tidak mencakup MK.
"Dulu KY sempat ditolak MK untuk mengawasi lembaganya yang dibuktikan dalam keputusan yudisial review UU KY," katanya.
Namun demikian, kata dia, UU KY yang baru memungkinkan untuk melakukan pengawasan terhadap MK. Dalam UU KY yang baru disebutkan bahwa KY memiliki kewenangan untuk menegakkan martabat hakim. Di mana menurut dia, dapat diterjemahkan martabat seluruh hakim termasuk hakim MK.
"Kalau mengacu konstitusi sesuai UU baru, KY memiliki peran lebih luas terhadap seluruh hakim termasuk hakim MK," katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (2/10) malam di jakarta menangkap Ketua MK Akil Mochtar yang diduga menerima suap terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.