REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, belum berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang rencana keberangkatan haji pada Rabu (9/10) mendatang.
"Sampai hari ini belum ada koordinasi dari pihak Atut tentang keberangkatan haji. Jika dia koordinasi akan segera tahu apakah pimpinan KPK akan mengizinkan atau tidak," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, di Gedung KPK Jakarta, Selasa.
Johan mengatakan KPK belum pernah memberikan izin jika ada pihak-pihak yang dicegah ke luar negeri akan berangkat haji.
KPK, lanjut Johan, sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk mengeluarkan surat pencegahan atas nama Ratu Atut Chosiyah pada 3 Oktober 2013 dan berlaku hingga enam bulan mendatang.
Gubernur Banten dicegah ke luar negeri karena terkait dengan kasus suap pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak, Banten, di Mahkamah Konstitusi.
Pada Sabtu (5/10), Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan Ratu Atut Chosiyah tetap tidak bisa menunaikan ibadah haji pada musim haji 1434 H/2013 M karena meski sudah memiliki visa haji.
"Selama yang bersangkut mempunyai persoalan hukum, tentu saja tidak bisa pergi keluar negeri. Termasuk menunaikan ibadah haji," kata Suryadharma.
Selain karena kabupaten Lebak berada dalam provinsi Banten, KPK juga sudah menetapkan adik Atut, Tubagus Chaery Wardhana yang juga suami Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diani, sebagai tersangka selaku pemberi suap dalam kasus yang sama.
"Hubungan darah tidak terkait dengan kasus, pencegahan Atut ini berkaitan dengan kasus yang disidik KPK, berkaitan dengan Lebak, tapi saya tidak tahu detailnya," kata Johan.
Johan juga memastikan Ratu Atut akan diperiksa.
"Tentu akan dilakukan pemeriksaan itu, tapi kapannya saya belum tahu dan jadwalnya, karena tujuan pencegahan adalah pemeriksaan," ujar Johan.
Dalam kasus suap dua sengketa pilkada ini, KPK sudah menetapkan enam tersangka, sedangkan untuk kasus sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah, KPK menetapkan Ketua MK Akil Mochtar dan anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa sebagai tersangka penerima suap.
Tersangka lain dalam kasus tersebut adalah Bupati Gunung Mas Hambit Bintih dan Cornelis Nalau yang diduga sebagai pemberi suap.