REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki mencabut larangan berjilbab di kantor pemerintahan sipil sebagai bagian dari reformasi pemerintah. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan yang istrinya juga memakai jilbab mengklaim pencabutan itu merupakan langkah menuju normalisasi.
"Kami sekarang menghapuskan ketentuan kuno yang bertentangan dengan semangat republik. Ini langkah menuju normalisasi," ujar Erdogan dikutip Al-Jazeera, edisi Selasa (8/10).
Erdogan pekan lalu meluncurkan paket reformasi demokratis yang sebagai besar bertujuan untuk meningkatkan hak-hak minoritas suku Kurdi. Akan tetapi, hal itu juga termasuk mencabut larangan penggunaan jilbab yang selama ini kontroversial.
Pegawai negeri sipil perempuan kini diizinkan memakai jilbab. Sementara rekan pria bisa berjenggot. Namun, larangan tersebut tetap diperuntukkan bagi hakim, jaksa, polisi, dan personel militer.
Partai Pembangunan dan Keadilan yang berkuasa berjanji untuk mencabut larangan berjilbab di semua instansi saat mereka berkuasa pada 2002. Pelonggaran larangan berjilbab telah dilakukan di universitas.
Perdebatan mengenai jilbab terletak di pihak konservatif agama yang membentuk sebagian besar pendukung Erdogan dengan anggota sekuler di masyarakat.
Pada 1999, anggota parlemen Merve Kavakci tiba di parlemen mengenakan jilbab saat upacara pelantikan. Dia dicemooh keluar parlemen dan kewarganegaraan Turkinya dicabut. Kontrasnya, sehari setelah pengumuman reformasi Erdogan, istri Presiden Abdullah Gul mengenakan jilbab ke parlemen.