Rabu 09 Oct 2013 16:43 WIB

Pencabutan Larangan Berjilbab, Berakhirnya Sekularisme di Turki?

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Fernan Rahadi
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: AFP
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan berhasil menghapus larangan berjilbab serta larangan memelihara janggut. Pencabutan salah satu undang-undang paling represif tersebut dielu-elukan sebagai bentuk kematangan berdemokrasi di negara sekuler itu.

''(Pengenaan) jilbab sudah dibebaskan dalam republik ini,'' ucap Erdogan, saat bicara di Ibu Kota Ankara, seperti dilansir Reuters (9/10).

Erdogan mengatakan, kebebasan mengenakan atribut keagamaan menandakan tuntasnya era kegelapan di Turki. ''Ini adalah langkah menuju normalisasi demokrasi di Turki,'' katanya.

Erdogan dengan motor politiknya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) telah lama berkampanye mengembalikan Islam sebagai bagian dari Turki. Hal itu bukan main susahnya. Sebab, sikap anti-Islam sudah tertanam selama sejarah berdirinya Republik Turki.

Sejak runtuhnya Kekaisan Ottoman 1923 silam, Bapak Turki Mustafa Kemal Attaturk menjadi pengikis pengaruh Islam dalam keseharian masyarakat dan pemerintahan di Istanbul. Attaturk sengaja menghapuskan simbol-simbol agama. Dia memaksakan budaya barat dengan mempromosikan sekulerisme.

Cita-cita Attaturk tercapai. Menjadikan Turki sebagai republik, yang bukan cuma sekuler, tapi juga menolak keberadaan agama. Padahal realisme sosial menunjukkan, lebih dari 50 persen populasi di Turki - hingga hari ini adalah muslim.

Sekularisme pun mencuatkan permusuhan terhadap agama. Lebih dari 90 tahun, Islam dan sekulerisme adalah persoalan paling emosional di Turki. Sekulerisme menjadikan Islam sebagai musuh utama negara. Negara memberi benteng tinggi dan tebal, penghalang nuansa Islam di negara itu. Salah satunya adalah regulasi larangan berjilbab dan berjanggut panjang.

Negara tidak main-main dengan aturan dan sanksi yang didapat. Seorang pegawai negeri dan pejabat pemerintah akan dicabut kewarganegaraannya jika melawan. Pernah pada 1999, anggota parlemen perempuan Merve Kavakci sengaja menguji keberlakuan hukum itu. Blasteran Turki-Amerika itu melenggang dengan jilbab menutupi bagian rambut dan lehernya saat sidang perdana.

Perdebatan hebat pun terjadi. Kavakci bukan saja dipecat sebagai anggota legislatif. Atas nama negara, Kavakci diusir setelah dihapus  kewarganegaraannya.

Namun kemenangan AKP dalam pemilihan umum 2002 membawa dimensi baru. Perang melawan sekulerisme dan sikap represif pun dimulai. AKP tidak spontan dengan visi ke-Islaman. Faksi Islam ini memberi dinamika berdemokrasi yang wajar. Mengurung Islam dianggap sebagai sikap yang bertentangan dengan paham demokrasi. AKP menginginkan kepercayaan mayoritas itu menjadi entitas yang harus diakui keberadaannya.

AKP menolak sangkaan hendak mengubah Turki jadi negara Islam. Bagi AKP perlu memastikan jaminan hak terhadap muslim di negara itu. Dan jilbab adalah salah satu hak seorang muslim. ''Larangan berjilbab, adalah penderitaan paling pilu bagi muslim di negara ini. Kami sudah mengakhiri penderitaan para orang tua kami,'' sambung Erdogan.

Erdogan sebenarnya sudah mulai melawan sikap anti-Islam sejak dirinya memimpin. Erdogan mencabut larangan berjilbab 2011 lalu di teritorial terbatas. Jilbab pun mulai kembali dikenakan di kampus dan sekolah. Cemoohan dari oposisi terjadi. Namun Erdogan mengimbangi 'makian politik' itu dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Turki.

Kemenangan Erdogan ini membuat kelompok oposisi mulai kehilangan pengaruh. Anggota Partai Rakyat Republik (CHP) Sezgin Tanrikulu mengatakan, pencabutan larangan berjilbab adalah diskriminasi terhadap warga negara. Bagi tokoh oposan ini, AKP tidak paham tentang makna demokrasi. ''Ini adalah sikap untuk kalangan tertentu. Ini jauh dari makna kebebasan kita (Turki),'' katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement