Jumat 08 Nov 2013 15:56 WIB

Pesantren Manarul Huda Mempertahankan Sistem Sorogan

Rep: erdy nasrul/ Red: Damanhuri Zuhri
Seorang santri tengah membaca kitab kuning
Seorang santri tengah membaca kitab kuning

REPUBLIKA.CO.ID,

Sistem sorogan merekatkan guru dan murid

Tradisi keilmuan Islam memang unik dan istmewa. Sistem pengajaran berbasis sanad, yaitu pertalian ilmu, menempatkan figur tertentu sebagai pusaran perpindahan ilmu. Pola seperti ini masih lazim digunakan di banyak pesantren.

Kiai atau ustaz memegang peran utama dalam proses penyaluran ilmu. Ini banyak didapati di pesantren-pesantren yang masih menganut sistem salaf tradisionalis, salah satunya Pondok Pesantren Manarul Huda, Sukasirna, Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Arus globalisasi tak lantas menggerus identitas, sekaligus sistem belajar mengajar di pesantren yang mengajarkan kitab kuning tersebut.

Kiai membacakan kitab dengan sorogan. Teknik pengajian sistem ini, membaca kitab secara individul atau seorang murid nyorog (menghadap guru sendiri-sendiri) untuk dibacakan (diajarkan) oleh gurunya beberapa bagian dari kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang kali.

Dengan demikian, santri dapat dengan mudah bertemu dengan kyai. Tokoh yang paling dihormati di pesantren itu dapat memperhatikan keberlangsungan pendidikan di pesantrennya.

Jika ada kekurangan maka dapat langsung diperbaiki. Kiai dapat langsung mengamati apakah santri sudah memahami ilmu-ilmu yang diajarkan.

Sekretaris Yayasan Pesantren Manarul Huda KH Cecep Ilman Fahmi menyatakan, pesantren yang dikelolanya harus tetap mempertahankan tradisi sorogan. Sekalipun ada pendidikan formal, aktivitas ngaji tak boleh diabaikan santri.

“Jadi, ngaji dulu yang diutamakan,” ujarnya. Santri mulai pagi hari sudah aktif mengaji. Sekolah setingkat madrasah, baik tsanawiyah maupun aliyah, baru dimulai siang hari.

Menurut Cecep, ruh pesantren ada pada tradisi mengaji. Karenanya, harus diutamakan. Santri membaca kitab kuning dan menyerap ilmu-ilmu yang ada di dalamnya.

Kitab kuning yang diajarkan pihaknya berkaitan dengan tradisi gramatika bahasa Arab, yaitu nahwu dan sharaf. Ada juga yang mengajarkan akidah atau tauhid. Kitab lainnya seputar fikih dan akhlak.

Cecep menyatakan, pesantren yang dikelolanya memiliki standar kelulusan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Santri harus lulus materi pengajian tauhid, nahwu, dan sharaf. “Bila tidak lulus maka tak naik kelas,” katanya.

Ia mengemukakan, Manarul Huda dibangun sejak 1973. Pada mulanya pesantren ini murni menganut sistem salaf klasik yang hanya mengajarkan pengajian sorogan.

Dari tahun ke tahun santri di pesantren tersebut bertambah. Awalnya puluhan, kemudian bertambah hingga 150 orang. Pada 1997 pesantren itu kemudian membangun yayasan. Maka, berdirilah MTs dan MA.

Pendiri pesantren tersebut ialah KH Endin Saepudin. Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama Tasikmalaya.

Kyai Endin mendirikan pesantren untuk mempertahankan tradisi Islam di wilayahnya. Masyarakat harus tetap terbentengi akidahnya dari paham yang merusak Islam.

“Abah menginginkan generasi penerus Islam nantinya tetap berakhlakul karimah,” ujar Cecep. Ia menyatakan bahwa pengajaran akhlak penting agar generasi Muslim bisa terjun ke masyarakat dan menjadi teladan. 

Cecep menyatakan, sudah ribuan alumnus dilahirkan dari pesantren yang dikelolanya. Mereka saat ini menjadi tokoh masyarakat yang teguh memegang akidah Islam dengan tetap bertoleransi.

Pihaknya berdoa agar alumni pesantren yang dikelolanya selalu mendapatkan berkah, hidayah, dan ampunan dari Allah SWT.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement