Senin 11 Nov 2013 15:57 WIB

Indonesia Lebih Baik dari Brasil, India dan Turki

Rep: Satya Festiani/ Red: Nidia Zuraya
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi perekonomian Indonesia dinilai lebih baik daripada Brasil, India dan Turki. Profesor Ekonomi dari New York University, Nouriel Roubini, mengatakan terdapat tujuh alasan yang membuat Indonesia lebih baik dari ketiga negara tersebut.

Alasan pertama adalah Indonesia telah tumbuh sebesar 6 persen. Indonesia juga memiliki ekonomi yang beragam dan populasi yang tinggi. "Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga berorientasi pasar dan menerapkan prinsip kehati-hatian," ujar Roubini dalam Mandiri Investment Forum 2013, Senin (11/11).

Roubini juga menganggap Indonesia memiliki utang pemerintah dan utang swasta yang masih rendah. Utang pemerintah dan swasta masing-masing sebesar 30 persen dan 25 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Permintaan domestik yang tinggi juga menjadi pendorong perekonomian Indonesia. Semua hal tersebut didukung oleh sistem keuangan yang kuat.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dinilai sudah tepat. Roubini mengatakan kebijakan yang ketat diperlukan untuk mengontrol inflasi dan mengatasi defisit transaksi berjalan. "Defisit fiskal dan transaksi berjalan harus dikontrol. Depresiasi nilai tukar juga dibutuhkan untuk menahan defisit eksternal," ujar dia.

Kendati kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat memperlambat pertumbuhan, Roubini optimistis Indonesia masih dapat meraih pertumbuhan sebesar 6 persen ke depannya. Untuk meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Indonesia harus memperbaiki infrastruktur seperti telekomunikasi dan energi. Investasi swasta juga harus didorong agar dapat mencapai pertumbuhan sebesar 7 persen.

Roubini juga menilai demo buruh, korupsi, dan birokrasi merupakan penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Belanja sosial untuk pendidikan dan infrastruktur juga harus ditingkatkan. Dengan kata lain subsidi BBM harus dikurangi," ujar dia.

Sementara itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia masih was-was menghadapi penghentian stimulus moneter AS. Roubini mengatakan dampak quantitative easing pada Indonesia akan sangat kecil karena Indonesia memiliki pembiayaan asing yang terbatas.

"Pelemahan nilai tukar rupiah juga akan memperbaiki transaksi berjalan," ujar Roubini. Selain itu, transaksi modal dan finansial di Indonesia tidak terdampak oleh kenaikan suku bunga AS jangka pendek dan panjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement