Jumat 22 Nov 2013 23:49 WIB

Amnesty Internasional Mulai Prihatin Nasib Ribuan TKW di Hongkong

Seorang laki-laki mengambil gambar 2 foto TKI meninggal yang dipajang di lokasi otopsi di pemakaman keluarga Dusun Pancor Kopong, Desa Pringgesela, Kecamatan Pringgesela, Selong, Lombok Timur, NTB, Kamis (26/4).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Seorang laki-laki mengambil gambar 2 foto TKI meninggal yang dipajang di lokasi otopsi di pemakaman keluarga Dusun Pancor Kopong, Desa Pringgesela, Kecamatan Pringgesela, Selong, Lombok Timur, NTB, Kamis (26/4).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Amnesty International prihatin terhadap nasib ribuan tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang diperdagangkan ke Hongkong menghadapi risiko kondisi seperti perbudakan sebagai pekerja rumah tangga, dengan kedua pemerintah gagal melindungi mereka dari pelecehan dan eksploitasi yang terjadi secara meluas.

Sebuah laporan terbaru berjudul, 'Dieksploitasi Demi Keuntungan, Diabaikan oleh Kedua Pemerintah, (Exploited for Profit, Failed by Governments), yang diterima ANTARA London, Jumat menjelaskan bagaimana agen perekrutan Indonesia dan agen penempatan di Hong Kong memperdagangkan perempuan Indonesia untuk eksploitasi dan kerja paksa.

Tindakan pelecehan tersebut termasuk hambatan atas kebebasan bergerak, kekerasan fisik dan seksual, kurangnya makanan, dan jam kerja yang berlebihan dan eksploitatif.

"Sejak perempuan tersebut ditipu untuk membuat tanda tangan untuk bekerja di Hong Kong, mereka terjebak dalam lingkaran eksploitasi dengan kasus-kasus yang masuk kategori perbudakan moderen," kata Norma Kang Muico, Peneliti Hak-Hak Migran Asia Pasifik di Amnesty International.

Temuannya berdasarkan pada wawancara mendalam dengan 97 pekerja rumah tangga Indonesia dan didukung oleh survei atas hampir 1000 perempuan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (Indonesian Migrant Workers Union).

Ada lebih dari 300.000 pekerja rumah tangga migran di Hongkong, dengan setengahnya dari Indonesia dan hampir seluruhnya perempuan. Tergiur dengan janji pekerjaan dengan upah bagus, kenyataannya bagi para perempuan tersebut sangatlah berbeda.

Satu perempuan menceritakan pada Amnesty International, bagaimana ia dipukuli oleh majikannya,  "Ia menendang saya dari belakang dan menyeret saya melalui baju ke kamarku. Setelah mengunci pintu, ia memukul dan meninju saya. Ia mendorong saya ke lantai dan menendang beberapa kali. Saya lembam dan memar sekujur tubuh- wajah, lengan dan kaki saya. Mulut dan dahi saya berdarah."

Kegagalan sistematis oleh kedua pemerintah baik Hongkong dan Indonesia dalam melindungi pekerja rumah tangga migran dari eksploitasi disoroti dalam laporan ini. Beberapa tindakan pihak berwenang tersebut bahkan memperbesar risiko kesewenang-wenangan.

"Tidak ada alasan yang bisa diterima sehingga pemerintah Hongkong dan Indonesia menutup matanya atas perdagangan ribuan perempuan rentan tersebut untuk kerja paksa. Pihak berwenang dapat merujuk pada sejumlah peraturan nasional yang seharusnya melindungi perempuan tersebut namun peraturan tersebut jarang ditegakkan," ujar Muico.

Di Indonesia, calon pekerja rumah tangga migran diwajibkan mengikuti proses melalui agen perekrutan yang terdaftar oleh pemerintah termasuk mengikuti pelatihan sebelum pemberangkatan.

Agensi tersebut, dan perantara yang bekerja untuk mereka, secara rutin menipu para perempuan terkait upah dan biaya, menyita dokumen-dokumen identitas dan properti sebagai jaminan, dan membebankan biaya yang melebihi yang diperkenankan oleh hukum. Biaya penuh diterapkan sejak mereka mengikuti pelatihan, menjebak para perempuan dengan hutang yang besar bila mereka mengundurkan diri.

Perempuan dari beberapa pusat pelatihan kerja juga melaporkan telah dipaksa melakukan injeksi kontrasepsi. Banyak perempuan mengatakan staf pusat pelatihan sering mencela, menganiaya, dan mengancam mereka dengan pembatalan aplikasi pekerjaan mereka. Kebanyakan besar dari mereka tidak bisa meninggalkan lokasi pusat pelatihan kerja secara bebas.

Laporan tersebut juga mengungkap bahwa agen perekrutan secara rutin gagal memberikan para buruh migran dokumen-dokumen legal yang diperlukan termasuk kontrak, asuransi wajib dan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang melemahkan upaya dan sarana untuk menuntut ganti rugi.

Ketika seorang pekerja rumah tangga migran tiba di Hong Kong, mereka dikontrol secara ketat oleh agen penempatan lokal dan sering oleh pemberi kerja mereka.

Mayoritas perempuan yang diwawancara oleh Amnesty International mendapati dokumen mereka disita oleh majikan atau agen penempatan mereka di Hong Kong. Sekitar sepertiga tidak diperkenankan meninggalkan rumah majikannya.

Amnesty International menemukan bahwa mereka yang diwawancara bekerja rata-rata 17 jam per hari; banyak responden yang tidak menerima Upah Minimum yang Diperkenankan (Minimum Allowable Wage) berdasarkan Undang-Undang, dilarang mempraktekkan kepercayaan mereka, dan tidak mendapatkan hari libur mingguan.

Para perempuan terjebak dalam lingkaran kerja paksa dengan hutang yang besar untuk menutupi biaya perekrutan yang tidak jelas dan berlebihan.

Agen perekrutan di Indonesia dan agen penempatan di Hong Kong berkolusi dalam memperdayai batasan-batasan legal dalam membebani para pekerja rumah tangga migran. Amnesty International menemukan hampir semua perempuan dibebani biaya jauh di atas batas yang diperkenankan oleh hukum.

Agensi tersebut memperdaya hukum dengan mengumpulkan biaya yang berlebihan melalui skema pihak ketiga, termasuk melalui perusahaan-perusahaan keuangan.

Terlepas hal ini, Komisioner Ketenagakerjaan Hong Kong hanya mencabut izin dua agen penempatan pada tahun 2012 dan hanya satu pada empat bulan pertama tahun 2013.

"Agen perekrutan dan penempatan secara terang-terangan melanggar hukum yang didesain untuk melindungi pekerja rumah tangga migran dari kesewenang-wenangan. Hampir tiadanya tindakan oleh pihak berwenang Hong Kong dan Indonesia berarti para perempuan tersebut terus dieksploitasi demi keuntungan," ungkap Muico.

Terjebak dan dilecehkan

Ketika di Hong Kong, ketakutan terjebak dalam hutang yang makin dalam melalui pembebanan ulang biaya perekrutan dalam mendapatkan pemberi kerja baru mengakibatkan banyak perempuan terjebak dengan pemberi kerja yang melecehkan.

Dua pertiga pekerja rumah tangga migran yang diwawancara Amnesty International mengaku menjadi korban penganiayaan fisik dan psikologis. Persyaratan yang mewajibkan pekerja rumah tangga tinggal serumah dengan pemberi kerja mereka, meningkatkan isolasi mereka, dan menempatkan mereka dalam risiko pelecehan yang lebih jauh.

Satu perempuan menyatakan bagaimana "sang istri secara fisik menganiayaku secara rutin. Pernah sekali ia memerintahkan kedua anjingnya untuk menggigit saya. Ada sepuluh bekas gigitan di badanku, yang merobek kulit sehingga berdarah. Ia merekamnya di telepon genggamnya, dan ia terus menonton ulang sembari tertawa."

Para perempuan mengatakan pada Amnesty International bahwa kontrak mereka bisa diputus bila mereka mengeluh soal perlakuan yang dialami, atau jika agen penempatan memanipulasi situasi demi mendapatkan biaya perekrutan baru.

Pembayaran yang rendah adalah masalah yang meluas. Namun dalam periode dua tahun hingga Mei 2012, hanya 342 kasus pembayaran yang rendah yang diajukan dari total populasi lebih dari 300.000 pekerja rumah tangga migran di Hong Kong.

"Kita perlu melihat hukum yang ada ditegakkan dan orang mendapatkan keadilan untuk eksploitasi. Hanya saat itulah kita dapat melihat pengakhiran kerja paksa dari Indonesia ke Hong Kong," kata Muico.

Hukum Hong Kong menyatakan pekerja rumah tangga migran harus mendapatkan pemberi kerja baru dan mendapatkan visa kerja baru dalam jangka waktu dua minggu setelah berakhirnya kontrak mereka, atau mereka harus meninggalkan Hong Kong.

Hal ini menekan pekerja untuk bertahan dalam situasi yang melecehkan karena mereka tahu jika mereka meninggalkan pekerjaan mereka, sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan baru dalam dua minggu sehingga mereka harus meninggalkan negeri itu. Bagi kebanyakan orang hal ini membuat mustahil mereka dalam membayar biaya perekrutan atau untuk menyokong keluarga mereka.

"Keseluruhan sistem merugikan pekerja rumah tangga migran. Jika Pemerintah Hong Kong serius dalam melindungi perempuan tersebut, mereka akan menghapus Peraturan Dua Minggu dan Kewajiban Tinggal Serumah yang menempatkan para perempuan dalam risiko pelecehan yang lebih besar," ungkap Muico.

Kedua Pemerintah, Indonesia dan Hong Kong, perlu menunjukkan komitmen sejati untuk mengatasi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan hak pekerja yang terungkap dalam laporan ini.

Amnesty International menyerukan kepada kedua pemerintah untuk secepatnya meratifikasi dan menerapkan Konvensi Pekerja Rumah Tangga dari Organisasi Buruh Internasional (ILO).

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement